Nunukan (Kaltara)- Program nasional Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang seharusnya ditujukan untuk memudahkan warga mengurus sertifikat tanah, justru menjadi lahan pungutan liar (pungli) segelintir oknum.
Salah satu warga Desa Bukit Harapan yang enggan menyebutkan namanya mengatakan, jika dia membayar sertifikat tanah mencapai Rp 2 juta rupiah.
“Tanah saya tiga hektare, saya bayar 2 juta rupiah, kenapa mahal sekali sementara ini program pak Jokowi,” ujarnya, Kamis 3/8/19
Dia juga mengatakan jika pembayaran tersebut dibayar ke desa, sementara pemberitahuan dari pihak Desa untuk diadakan kesepakatan tidak ada.
Menanggapi hal itu, Kepala Desa Bukit Harapan, Cecep Supriadi menjelaskan bahwa sertifikat itu sertifikat perumahan dan perkebunan ada pada tahun 2018 dilaksanakan hasil kesepakatan masyarakat, jadi sudah dimusyarwarakan dan dibicarakan kepada masyarakat.
Untuk biaya perumahan sebesar Rp. 400 ribu, untuk biaya perkebunan sebesar Rp. 1,2 juta, dasarnya sudah ada.
Ketika disinggsung dengan aturan-aturan yang berlaku, cecep menuturkan, kalau ketentuan SKB 3 menteri memang tidak ada, karna sudah melewati batas aturan, cuma itu sudah hasil kesepakatan masyarakat, untuk biaya konsultan Rp. 800 ribu, untuk biaya patok, konsumsi dan akomodasi Rp.250 ribu untuk biaya materai Rp. 50 ribu untuk pengambilan sertifikat 100 ribu rupiah.
“itu untuk per 2,5 hektare Rp. 1.250 Ribu diatas daripada 2,5 hektare itu dibayar 2 kali lipat. itu yang lebih dari 2,3 hektare, ada yang 3 hektare 4 hektar itu pembayarannya dikenakan 2 kali dan itu sudah hasil kesepakatan,” ujar Cecep
Dikatakan Cecep, untuk pembayaran, kepala desa
desa sendiri tidak ada hubungannya dengan kepala badan pertanahan Nasional (BPN).
Terpisah, saat dikonfirmasi Mantan Kepala BPN Nunukan Sumaryo, SH yang menanda tangani Sertifikat Program PTSL tahun 2018 menerangkan, Soal pungutan dilingkungan Desa, kami sama sekali tidak tahu-menahu tapi yang jelas Program PTSL itu Gratis.
Menurutnya, mengenai biaya -biaya masalah Konsultan, berapapun biaya itu menjadi Tanggungjawab Kepala Desa Masyarakat dan biro jasa Konsultan Sulveyor Kadastral Berlisensi (SKB).
Saat ditanya keterlibatan BPN dalam pengurusan tersebut, Sumaryo menjelaskan, waktu itu Kepala Desa dan Dinas Pertanian provinsi mengusulkan kepada kami bahwa ada permintaan masyarakat agar kebunnya bisa disertifikatkan, jadi tim BPN menyarankan mungkin bisa, tetapi itu harus mengunakan alat ukur melalui konsultan pengukuran di samarinda dan memang BPN Nunukan belum punya alat ukur yang memadai waktu itu.
Sumaryo juga mengatakan, Kurang mengetahui pasti jumlahnya sertifikat yang telah diterbitkan di tahun 2018.
“Saya kurang pasti jumlahnya, yang jelas setelah sertifikat dibagikan kepada masyarakat melalui kantor desa tidak ada pungutan lagi, kalau pun ada itu inisiatif oknum Kepala Desa,” ungkap Sumaryo. (OV)