*Qurban Memotong Ego*





Catatan Pinggir:
Bahtiar Parenrengi

Terlalu banyak cerita tentang Nabi Ibrahim. Begitupun tentang Nabi Ismail. Tentu banyak hikmah yang bisa dirasakan. Karena disetiap cerita pasti ada jejak yang ditinggalkan. Ada hikmah yang bisa dijadikan pelajaran.

Tentang Ismail kecil bersama ibunya yang bernama Hajar, ditinggalkan berdua oleh ayahnya, Ibrahim. Tempat yang tak berair dan tandus bukanlah tempat yang nyaman. Tentu bukan rumah dengan fasilitas mewah. Bukan. Tak ada fasilitas apa-apa yang ditinggalkannya di Mekah.

Tidak lama setelah sampai di Mekah, Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat tersebut dan ingin kembali ke Syam. Hajar nampak sedih. Ia merasa lemah.

Ketika Hajar melihat Nabi Ibrahim beranjak pulang, Hajar segera mengejarnya dan memegang bajunya sambil berucap, “Wahai Ibrahim, kamu mau pergi kemana? Apakah kamu (tega) meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apa pun ini?”

Hajar terus saja mengulang-ulang pertanyaannya, hingga akhirnya Ibrahim tidak menoleh lagi kepadanya. Akhirnya Hajar bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semua ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar berkata, “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.”

Dalam hidup, kita sering dihinggapi rasa ragu. Ragu untuk tak bisa mengarungi hidup. Ragu tak bisa menata hidup dan kehidupan, tanpa yakin Allah itu ada. Tanpa sadar bahwa Allah adalah Maha Penolong, yang memiliki sifat Rahman-Rahim.

Tapi Hajar, isteri Nabi Ibrahim menyandarkan kehidupannya dengan sandaran KeIlahian.
Dan Hajar pun menatap suaminya dengan penuh keikhlasan.

Ibrahim melanjutkan perjalanannya hingga pada sebuah bukit, Ibrahim menghadap ke arah Ka’bah lalu berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)

Kemudian Hajar mulai menyusui Ismail dan minum dari air persediaan. Hingga persediaan air habis. Hajar haus anaknya pun haus. Lalu dia memandang kepada Ismail sang bayi yang sedang meronta-ronta, kemudian Hajar pergi meninggalkan Ismail dan tidak kuat melihat keadaannya hingga pada akhirnya muncullah air zam zam.

Khutbah Idhul Adha pagi tadi cukup menyentak qolbu. Khatib sempat terisak. Nampak air bening terjatuh dari sudut mata Jamaah.

Khutbah singkat penuh makna. Penuh amzal. Hajar tunduk dengan keputusan Ibrahim. Ismail menerima dengan ikhlas petunjuk mimpi Ibrahim.

Pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarganya tak terkira. Ismail yang berumur belasan tahun, ikhlas disembelih. Hajar pun tak melarang suaminya untuk menjadikan Ismail sebagai qurban.

Nabi Ibrahim bermimpi. Mendapat perintah Allah, harus mengorbandan anaknya. Nabi Ibrahim mendiskusikan perintah Allah ini bersama sang anak secara terbuka dan demokratis. Ia meminta pendapat Ismail mengenai mimpinya tersebut.

“Hai anakkku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai Bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS Ash-Shafaat: 102)

Dengan kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa, ayah dan anak tersebut melakukan kurban. Nabi Ibrahim mengurbankan anaknya, sementara Nabi Ismail mengurbankan hidupnya.

Nabi Ibrahim lalu membaringkan anaknya dan bersiap melakukan penyembelihan. Saat Nabi Ibrahim hendak mengayunkan pedang, Allah SWT berkehendak lain. Sebagai imbalan atas keikhlasan dan iman keduanya, Allah menggantikan tubuh Nabi Ismail dengan domba jantan dari Surga.

Peristiwa tersebut merupakan ujian bagi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan mereka berhasil melewatinya. Ketakwaan dan kesabaran kedua utusan Allah ini menjadi teladan bagi kita semua.

Perisriwa inilah merupakan titik awal berqurban yang dilakukan oleh umat Islam di Hari Raya Idul Adha. Nabi Ibrahim telah mengawalinya dan kitalah para pelanjutnya.

Berqurban telah menuntun kita untuk mengurbankan ego. Keikhlasan menerima
Penyembelihan qurban adalah untuk memadamkan ego dan keinginan pribadi kepada Allah.