Jakarta — Islamic Finance News (IFN) Forum diselenggarakan di sebuah hotel di Kawasan Sudirman Jakarta Pusat, Selasa, (27/08/2019).
Farouk Abdullah Alwyni Selaku Chairman Center For Islamic Studies in Finance, Economics and Development (CISFED) sebagai salah seorang panelis di forum tersebut mengatakan bahwa sudah waktunya kajian dan implementasi pengembangan ekonomi Syariah memasuki tahapan yang berikutnya (Islamic Economy 2.0) yakni yang berdampak terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
Hal ini terkait dengan konsep “Sustainable Development Goals (SDGs)” yang menetapkan 17 tujuan global untuk capaian 2030 yang ditetapkan dalam resolusi Sidang Umum PBB (UN General Assembly).
Di antara poin-poin SDGs tersebut adalah: tiada kemiskinan (no poverty), bebas kelaparan (zero hunger), kesehatan dan kecukupan yg baik (good health dan well being), pendidikan yang berkualitas (quality education), air bersih dan sanitasi (clean water & sanitation), energi terjangkau dan bersih (affordable dan clean energy), industri, inovasi dan infrastructure (industry, innovation, dan infrastructure), pengurangan ketimpangan (reducing inequalities), dan lain-lain.
Hal ini juga tidak terlepas dari kesadaran baru di dunia keuangan global terkait integrasi antara keuangan dan pembangunan yang berkelanjutan, yang peduli terhadap kemanusiaan dan lingkungan, yang kemudian dikenal dengan konsep “green finance”, dimana dunia keuangan dituntut untuk juga berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang lebih baik.
“Penerapan keuangan Syariah yg seolah-olah identik hanya berfokus pada larangan pembiayaan di sektor alkohol, perjudian, dan pornografi, padahal esensi Syariah bisa dikembangkan lebih jauh dengan sesuatu yang berdampak untuk perbaikan masyarakat seperti pemberantasan kemiskinan, pengembangan sektor kesehatan & pendidikan yang baik, perumahan yang layak, lingkungan yang bersih, dan lain sebagainya,” ujar Farouk.
“Faktanya, lembaga-lembaga keuangan global konvensional juga sudah mulai perduli untuk mengintegrasikan antara konsepsi pembangunan yang berkelanjutan dengan operasi keuangan mereka,” lanjut Farouk.
Menjawab pertanyaan jurnalis terkait invasi barang-barang impor yang mematikan industri dalam negeri, Farouk menyatakan bahwa pengembangan kapasitas industri/produksi dalam negeri adalah sangat penting untuk pembangunan dan kemajuan sebuah negara, tanpa mengabaikan juga kebutuhan untuk pengembangan industri yang ramah lingkungan dalam konteks yang dikenal sekarang sebagai “green economy.”
“Mengenai kebijakan perdagangan bebas yang diadopsi pemerintah selayaknya perlu dikaji ulang dalam penentuan kebijakan karena industri dalam negeri banyak yang belum mampu bersaing dengan barang-barang impor.
Sehingga industri dalam negeri kalah bersaing, ini berdampak pada banyaknya perusahaan yang gulung tikar dan PHK terjadi di berbagai sektor.
Tentu berdampak buruk bagi situasi dalam negeri. Negara-negara yang sekarang maju diantaranya seperti Inggris, Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang juga menggunakan kebijakan proteksionis dalam pengembangan industrinya, begitu juga dengan negara-negara industri baru di Asia seperti Korea Selatan, Taiwan, dan terakhir China juga memulai pembangunan industrinya dengan menerapkan proteksi perdagangan, setelah industri dalam negeri kuat barulah mereka secara gradual”, tegas Farouk.
“Segenap pemegang kebijakan di eksekutif & legislatif perlu membuat kebijakan yang pro rakyat, karena keberhasilan pembangunan yg diikuti dengan kemajuan hanya bisa terjadi jika kebijakan-kebijakan yang dihasilkan benar-benar berpihak kepada kemaslahatan rakyat banyak, segala kebijakan yang merugikan kepentingan nasional (tidak berpihak pada rakyat banyak) perlu dikaji ulang untuk kemajuan bangsa dan negara kita,” pungkas Farouk. (fri)