NUNUKAN – Maraknya BBM botolan di Kecamatan Sebatik sejak 2022 lalu membuat omset pengusaha APMS menurun, aspirasi ini disampaikan langsung melalui Rapat Dengar Pendapat di Kantor DPRD Nunukan, Jumat (3/2/23).
Pengusaha APMS Cahaya Soppeng, Sebatik, Yuliana mengatakan omset pengambilan BBM di SPBU menurun drastis mulai November hingga bulan februari 2023.
“ Penurunannya itu pak tidak alang-alang, APMS kami turun hingga 70 persen, dulu kapal kami bisa ke tarakan mengambil 300 ton perbulan sekarang paling banyak 120 ton.” kata Yuliana.
Menurutnya, berkurangnya omset BBM APMS juga sangat berdampak pada pendapatan Negara , terutama pajak BBM dan Angkutan BBM.
“ Diketahui BBM itu adalah pajak final jadi dengan berkurang, ya pemasukan ke Negara juga berkurang, diangkutan juga kami juga dikenakan pajak, dua pendapatan Negara ini betul-betul tertutup dengan masuknya BBM ini,” tambahnya.
Dampak kedepannya, kata Yuliana, awal 2021 B30 Pertamina mengurangi alokasi BBM dari 50 ton menjadi 45 ton, dipertengahan bulan turun hingga 40 ton dan awal februari menjadi 30 ton.
“ Saya kira ini ancaman pak terhadap pendapatan Negara, pihak pertamina juga tidak ada pemberitahuan sebelumnya untuk menurunkan quota BBM APMS,” kata Yuli.
Terhadap Hal tersebut pengusaha APMS konfirmasi, namun pihak pertamina beralasan bahwa pengurangan quota tersebut berdasarkan keputusan BPH Migas, hingga akhirnya pengusaha APMS meminta bukti Surat Keputusan (SK) terkait pengurangan quota yang dimaksud.
“ Kami minta SK nya kalau ada namun tidak kami tidak sampai kesana, disini saya berharap dinas terkait bisa menyurati BPH Migas untuk memperjelas pemotongan alokasi BBM, padahal tahun sebelumnya APMS tidak pernah menambah Alokasi BBM,” lanjutnya.
Pengusaha APMS Sebatik menilai bahwa bisa jadi tahun depan justru quota BBM APMS semakin berkurang, jika BBM Malaysia marak di Kecamatan Sebatik, apalagi melihat kondisi sekarang ini jauh lebih menurun.
“BBM Malaysia terus gampang masuk, namun ketika sudah dihentikan peredarannya apakah alokasi BBM APMS bisa di kembalikan ke Pengusaha, tentu tidak,” ungkap Yuli.
Demikian juga dengan Program pertamina tentang pembangunan Pertashop di setiap daerah juga mempengaruhi usaha Pertashop karena pelaku usaha tidak mampu bersaing dengan harga BBM Malaysia.
Awal usaha Pertashop masih bisa bersaing dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pertalite Rp.13.500, namun masuknya BBM Malaysia dengan harga dikisaran Rp. 10.000, usaha Pertashop gulung tikar.
“ Mungkin kita masih bisa bersaing karena pertalite dari minyak kita sendiri, namun BBM Malaysia lebih murah, banyak pelaku usaha tidak lagi memperpanjang izin usaha Pertashop,” terangnya.
Karena itu Yuliana berharap, agar aspirasi ini bisa ada solusi dari anggota DPRD Nunukan dan Pemkab Nunukan, setidaknya bisa mengintervensi masuknya BBM Malaysia di Kecamatan Sebatik.
Aspirasi ini kemudian berkembang di ruang rapat Ambalat I, beragam pendapat dari anggota DPRD yang hadir, hingga menuju pada dua kesimpulan.
Berdasarkan hal tersebut DPRD Nunukan merokemendasikan pemerintah daerah menggelar rapat internal bersama forkopimda Kabupaten Nunukan untuk mengatur terkait keberadaan BBM Malaysia di Kabupaten Nunukan. DPRD merekomendasikan Pemerintah Daerah ke Badan Pengatur Hulu (BPH) Minyak dan Gas terkait quota dan harga BBM Khususnya Kawasan Perbatasan.
(Humas DPRD Nnk/Nam)