Jakarta – Pers Indonesia kembali tercoreng dengan pembiaran dewan pers atas munculnya media pers Jokowi. Politik telah membawa kaidah jurnalistik menjadi tak menentu, bahkan UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, serta Kode Etik jurnalis sudah bukan lagi pedoman wartawan jika dewan pers tetap diam dan meloloskan pers media Jokowi.
Untuk itu, Forum Wartawan Jakarta (FWJ) mengecam keras atas munculnya pers media Jokowi yang dinilai bukanlah produk jurnalis.
Ketua Umum Forum Wartawan Jakarta (FWJ), Mustofa Hadi Karya yang akrab disapa bung Opan ini menilai Pers Media Jokowi yang muncul ditengah-tengah publik telah menodai independensi wartawan.
“Kami prihatin dan memandang perlu adanya evaluasi untuk dewan pers terkait munculnya media pers Jokowi, karena hal itu telah memicu ketidakpercayaan publik terhadap perkembangan pers di Indonesia. “Ucap Opan saat ditemui di depan kantor kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (1/10/2019).
Opan juga mendesak dewan pers untuk segera memanggil redaksi dan oknum wartawan dari media pers Jokowi untuk segera dikenakan sanksi etika profesi, atau bisa juga merekomendasikan ke pihak kepolisian untuk diproses hukum.
Viralnya video tertangkapnya salah satu oknum wartawan pers media Jokowi dikerumunan massa pendemo malam tadi, Senin (30/9/2019), berdampak pada ketidakpercayaan publik terhadap para wartawan dari berbagai media lainnya, pasalnya pers media Jokowi bukanlah produk jurnalistik, namun hanya sebatas informan.(***)
Inti dari pertarungan politik adalah merebut persepsi
publik. Jika begitu bagaimana cara para politisi merebut persepsi publik
tersebut dalam setiap kontekstasi? Apakah dengan cara yang edukatif atau justru
dengan cara manipulatif ? Bagaimana sepak terjang para politisi/caleg dalam
merebut persepsi publik, berikut pandangan penulis berdasarkan pengamatan dalam
beberapa kontekstasi pemilu dan pilkada beberapa waktu lalu.
Kesimpulan bagamaina merebut simpati publik apakah dengan
cara edukatif atau cara manipulatif akan saya jelaskan melalui trend-trend
komunikaid politik berikut ini.
Cara Edukatif
Merebut persepsi publik dengan cara edukatif adalah sebuah
metode kampanye atau propaganda melalui cara-cara yang normatif, yang berpegang
teguh pada sendi-sendi instrument yuridis, seperti mengacu pada pasal 149 -154
UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan tugas dan
fungsi pokok anggota legislatif terbatas pada bidang legislasi, penganggaran
dan pengawasan.
Hal mana tupoksi tersebut dilakukan melalui cara turun
langsung ke masyarakat untuk menyerap aspirasi/pemikiran mengenai masalah dan
kebutuhan yang ada di tengah2 masyarakat.
Konsekuensi logis dari metodologi propaganda yang
bersendikan pada instrumen yuridis di atas, caleg atau politisi tidak bisa
membuat janji-janji manis bak angin sorga yang membuat publik terbuai atau
terhipnotis untuk memberikan dukungan. Pola propaganda seperti ini memang
mengarah pada konsientisasi atau penyadaran yang membangunkan nalar untuk masuk
pada pemikiran logisme masyarakat (Rasional).
Membangun persepsi publik dengan pendekatan yuridis seperti
ini tentu saja tidak menguntungkan kontestan Newcomer karena keterbatasan
pengetahuan tentang tugas dan fungsi legislatif berdasarkan konstitusi.
Pendekatan ini hanya dilakukan oleh incumbent atau politisi yang cukup
pengetahuan tentang tufoksi legislatif berdasakarkan undang undang.
Cara-Cara Manipulatif
Yang kedua adalah pola propaganda manipulatif. Meskipun
merugikan namun cara ini paling banyak dilakukan oleh pelaku pelaku politik
kita. Melakukan agitasi dengan membangun rasionalitas yang memungkinkan publik
tergerak hatinya untuk berdiri dan berjuang bersama agenda-agenda yang
ditawarkan.
Pola propaganda manipulatif ini adalah propaganda atau
kampanye yang tidak didasarkan pada proses konsientisasi, tetapi langsung masuk
ke pemikiran bawah sadar melalui aksi-aksi transaksional yang tidak didasari
pada pertimbangan rasionallitas atau pertimbangan akal budi.
Contoh pendekatan propaganda manipulatif ini membuat
janji-janji melampaui kewenangan berdasarkan konstitusi yang mengatur
tufoksinya. Sebenarnya bukan tugas dan fungsi pokok anggota legislatif, mereka
berjanji seperti calon-calon kepala daerah dengan visi misi yang muluk-muluk,
menjanjikan air bersih, janji penciptaan lapangan kerja, menjanjikan keramba
ikan, peternakan ayam, beasiswa, kesejahtraan,
Pembangunan infrastruktur dan lain lain. Proses kampanye
manipulatif ini juga biasanya dilakukan dengan pendekatan ekonomi. Pendekatan
ekononmi digunakan dengan berkamuflase menunjukkan citra diri agar orang
bersimpati. Mencitrakan diri sebagai dermawan seperti pengobatan gratis,
pembagian sembako, sumbangan bagi orang kesusahan dalam bentuk uang tunai
(sakit dan kematian). Mereka berperan sebagai seorang yang murah hati kepada
masyarakat. Seolah olah kebutuhan paling mendasar masyarakat dari semua
persolaan adalah uang tunai.
Dengan kegiatan “murah hati” tersebut tentu
diharapkan mendatangkan persepsi positif publik penerima bantuan, bahwa
politisi/calon anggota legislatif tersebut adalah seorang pribadi yang murah
hati dan penuh perhatian kepada sesama. Orang yang seperti inilah yang layak
mendapatkan dukungan.
Untuk menguji hal tsb bermuatan politis atau tidak adalah
sesuatu yang sangat rumit di prediksi. Padahal Jawaban terhadap pertanyaan
tersebut sekaligus akan menkonfirmasi para politisi apakah jika tidak berstatus
seorang caleg/ Calon bupati, masih mau melajukan atau tidak?
Tapi itulah problematika politik kita hari ini. Semua penuh rekayasa dan ketidakpastian. Cara lain yang lebih berbahaya dan menjadi embrio cancer dalam tubuh demokrasi kita adalah propaganda manipulatif melalui money politics penyebaran berita bohong (hoax)yang berisi kampanye hitam untuk men-down grade lawan dan meng-upgrade elektabilitas politisi/calon anggota legislatif ataupun calon kepala daerah. Itulah yang terjadi dan kita saksikan akhir kahir ini. Kondisi ini terus berlanjut dan makin membuat proses inkubasi cancer demokrasi ini makin nyaman.
Pada pemilu dan pilkada yang lalu saya mengamati, bahwa
proses progaganda edukatif berisi konsientisasi berdasarkan instrumen yuridis
belum terlalu banyak yang menggunankan. Kalaupun ada beberapa tang menggunakan
efektifitasnya untuk masyarakat Indonesia, terutama pada lingkungan rural
community masih sangat kurang. Padahal secara teiritis bahwa kualitas
demokratisasi terletak pada propaganda yang edukatif dan konsientisasif.
Trend sosial menunjukkan bahwa rural community, apalagi
masyarakat rentan permasalahan sosial (vulnerable society) sangat mudah
ditaklukkan dengan cara kampanye/propaganda manipulatif. Cukup dibungkus dengan
pencitraan calon anggota legislatif, melalui aksi-aksi sosial dan money
politic. Menyalurkan bantuan sosial dengan maksud untuk meraih simpati publik.
Perlu menjadi kesadaran bersama bahwa komunikasi politik
dengan menonjolkan citra diri sebenarnya hanya bersifat sementara (sesaat).
Hanya sampai pada hari pemilihan, dan setelahnya, good bye sampai jumpa lima
tahun berikutnya. Bukankan kita sudah sama sama menyaksikan ?
Oleh karena itu Sebuah Tantangan bagi pelaku politik untuk
menentukan Pola Propaganda yang akan digunakan dalam menghadapi konstekstasi
pemilihan. Jika kita semua bersepakat dengan penulis bahwa kesadaran kolegletif
untuk menciptakan kualitas demokrasi harus terus kita dorong.
Memang sebuah dilema bagi para caleg/politisi, apakah tetap
mengedepankan cara-cara manipulatif yg beresiko mengorbankan kualitas
pemilihan/demokrasi atau memegang teguh prinsip edukatif yang tidak popular di
tengah masyarakat akar rumput sebagai komunitas terbesar pemilih indoensia?
Pertanyaan yang harus digali terus solusinya adalah apakah
yang terpenting adalah kesuksesan merebut persepsi publik. Meskipun
mendegradasi esensi demokrasi itu sendiri. Bahkan mengesampingkan kualitas
demokrasi dengan melakukan provaganda politik yang bertentangan dengan hukum
dan perundang-undangan yang berlaku.
Ataukah kesuksesan dalam mengedukasi masyarakaat melalui
proses politik yang mengarus utamakan proses politik sebagai proses menggali
gagasan publik. Menggali harapan garapan perubahan ditengah tengah masyarakat
untuk dikelolah menjadi sebuah sebuah narasi universal yang akan diperjuangkan melalui
jalur politik di palemen ataupun eksekutif
Namun demikian berdasarkan pengamatan penulis tidak bisa
dinafikan bahwa kampanye busuk dengan pendekatan finansial, cara-cara
manipulatif lainnya justru cenderung efektif. Walaupun membutuhkan biaya politik
yang jauh lebih besar dan rentan sengketa hukum. Sedangkan cara -cara yang
edukatif dan konsientisasif belum populer dan tidak terlalu disukai masyarakat
akar rumput, sehingga bagi pelaku politik beresiko kurang mendapatkan simpati
masyarakat.
Inilah problematika yang sangat serius dalam setiap kontekstasi pemilihan umum Baik eksekufit maupun legislatif. Sebuah pilihan sikap yang tidak mudah. Pilihan sikap ini tentu saja sangat membutuhkan kesadaran kolegtif baik Pelaku maupun pemilih, dalam hal ini masyarakat sebagai pengguna hak suara.
Merebut persepsi publik adalah sebuah keniscayaan dalam setiap pemilu. Namun dalam penerapannya menjadi problematika politis. Sikap pilitik yang oportunisme seperti ini Sadar atau tidak dampaknya sudah menggiring bangsa ini pada labirin demokrasi yang semu. Jauh dari Esensi demokrasi sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara kita.
Kontekstasi politik yang kita saksikan makin mewariskan persoalan demi persoalan. Kontekstasi hanya mempertontonkan politik yang mengakomodir Kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Konstekstasi pilitik hanyal seremonial untuk merebut dan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan kepentingan koleganya namun mengatasnamakan rakyat. Sebuah tontonan yang memilukan.
Kalau saja kepentingan berkuasa itu dimuarakan kepada
kepentingan politik yang mendewasakan, memajukan kepentingan umum, bangsa dan
negara. Tentu saja pemandangan yang demikian tidak akan meresahkan kita. Tidak
akan menggerus kepercayaan publik terhadap proses politik. Tidak mendelegitimasi
kebijakan kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu penulis mengharapkan refleksi melalui tulisan ini bisa menjadi bahan perenungan. Namun apa sehingga output demokrasi tidak di pandang sebagai sebuah momentum menghadirkan sistem pengendalian kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan golongan saja.
Jauh dari ekspekasi demokratisasi yang menghadirkan wakil/
pemimpin yang mempunyai kemampuan kecakapan memimpin masyarakat, memiliki
integritas kepribadian dan kompetensi/skill yg mumpuni, sehingga diharapkan
mereka dapat berperan secara maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsi
pokoknya secara efektif dan efisien.
Politisi tidak lagi memilih proses politik yang manupulatif.
Kampanye yang tidak mendidik (edukatif dan konsientisasif). Black campaign yang
dan trk trik manipulatif yang penuh dengan pembohongan dan pembodohan publik.
Maukah kita membangun komitmen bersama untuk menrubah cara-cara berpolitik yang manipulatif seperti itu? Jika kita semua sudah bersedia maka bersiaplah menyonsong masa depan Indonesia yang sejahtrah, berkeadilan dan bermartabat. Aman sentosa, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa ini.
( Oponi ini ditulis oleh Rudi Ranaq , seorang Intelektual muda Dayak, Aktivis dan Pemerhati Dialektika Politik Praktis dari Kampung Benung, Kutai Barat, Kalimantan Timur)
Jakarta – Setelah sebelumnya dilakukan pemblokiran, Kementerian
Komunikasi dan Informatika kembali membuka layanan telekomunikasi di seluruh
Papua. Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu, mengatakan
pembukaan layanan data internet dilakukan setelah mempertimbangkan situasi.
Pembukaan internet
dilakukan menyusul keadaan di Wamena yang dilaporkan telah kondusif setelah
berkoordinasi dengan instansi penegak hukukm dan aparat keamanan.
Layanan data juga kembali dibuka di 15 persen titik/sites
Kota Jayapura yang sebelumnya masih dilakukan pembatasan saat sebagian besar
wilayah Papua dibuka 13 September lalu.
“Kondisi tersebut berdasarkan koordinasi dengan instansi
penegak hukum dan aparat keamanan,” kata Ferdinandus dalam siaran pers yang
diterima Redaksi, Sabtu (29/9/2019).
Lebih lanjut ferdinandus menuturkan bahwa pembukaan akses
internet juga dilakukan di 15 titik di kota Jayapura. Pembukaan akses internet
ini menandakan bahwa 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua dan 13 kabupaten/kota
di Provinsi Papua Barat telah berfungsi normal seperti semula.
Sebelumnya dilaporkan bahwa Kominfo memblokir internet di
Wamena menyusul kerusuhan yang terjadi pada Senin (23/9/2019). Kominfo
mengatakan pemblokiran dilakukan untuk mencegah distribusi hoaks dan ujaran
kebencian yang diklaim menyebar melalui media sosial dan memicu aksi kerusuhan.
Selama pemblokiran, masyarakat hanya bisa menggunakan
layanan SMS dan telepon saja untuk berkomunikasi. Kominfo kembali mengimbau
masyarakat untuk tidak menyebarkan informasi keliru dan ujaran kebencian
berbasis SARA.
“Agar situasi
dan kondisi keamanan di Provinsi Papua dan Papua Barat yang telah kondusif dan
pulih tetap terjaga,” tulis Kominfo. (eddySantry)
“Kami minta informasi ini disebarkan seluas-luasnya agar banyak pihak yang tergerak untuk membantu para korban yang kini tengah mengungsi” ( Dandim 1702/Jayawijaya Letkol Inf Candra Dianto)
Wamena – Sedikitnya 5.500 jiwa yang saat ini menyelamtkan diri (mengungsi) di Markas Komando Distrik Militer (Makodim) 1702/Jayawijaya saat ini dalam suasana yang sangat memprihatinkan. Pasalnya, saat mendatangi Makodim Jayawijaya, mereka hanya membawa pakaian di badan tanpa bekal makanan.
“Sehingga mereka sangat membutuhkan bantuan pakaian,
makanan, dan barang-barang keperluan anak dan perempuan. Karena pada saat
mereka mengungsi ke makodim, mereka tak membawa bekal lantaran berusaha menyelamatkan
diri dari kerusuhan,” tutur Komandan Kodim (Dandim) 1702/Jayawijaya Letkol Inf
Candra Dianto, Sabtu (27/9/20190.
Lebih lanjut Let Kol Candra menuturkan, bantuan pangan pokok
dari pemerintah untuk pengungsi korban kerusuhan Wamena baru difokuskan ke satu
posko pengungsian yaitu posko pengungsian Gedung Okumarek yang dibuka oleh
Pemerintah Kabupaten Jayawijaya.
Situasi ini semakin memprihatinkan lantaran hingga kini
masyarakat yang mengungsi tak mau ke Okumarek tempat tenda pengungsian yang
disediakan Pemda dan belum mau kembali
ke rumah mereka serta lebiih memilih untuk tinggal di makodim. Hal tersebut
menurut Candra juga bisa dimaklumi lantaran ketakutan mereka padakeselamatanya
yang merasa terancam.
“Pengungsi tidak mau ke Okumarek. Warga maunya di
Kodim, sementara dapur lapangan Pemda ada di Okumarek,” papar candra.
Candra menuturkan bahwa bahan pokok yang saat ini sangat di
butuhkan oleh para pengungsi tersebut selain pakaian dan makanan, pengungsi
juga membutuhkan susu untuk balita, popok bayi, dan pembalut untuk perempuan.
“Kami minta informasi ini disebarkan seluas-luasnya
agar banyak pihak yang tergerak untuk membantu para korban yang kini tengah
mengungsi. Karena saat ini, kita hanya mampu mengandalkan logistik yang ada di
Markas,” ujar Candra.
Sebelumnya, Kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya pada Senis 23 September 2019 lalu telah mengakibatkan 26 korban tewas dan 66 korban luka-luka yang masih dirawat di rumah sakit. Kericuhan terjadi saat pembubaran demonstrasi pelajar dan warga di Wamena oleh aparat gabungan TNI-Polri. (eddySantry)
Jakarta – Pasca Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan
untuk memindahkan Ibu kota Negara dari Jakarta ke Kalimantaan Timur, Panitia
Khusus Ibu Kota di DPR tengah melakukan
kajian. Berbagai pihak dari pemerintah dan masukan berbagai pihak telah
diterima.
Anggota Panitia Khusus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Mardani Ali Sera mengatakan bahwa kajian
telah rampung dan pandangan setiap fraksi telah diambil. Jawaban tim adalah
menjawab rekomendasi surat Presiden yang ingin memindahkan Ibu Kota.
“Senin akan dibacakan di Paripurna. Dan PKS menolak (Ibu Kota
Negara pindah dari Jakarta ),” ujar Mardani , Sabtu (27/9/2019).
Diketahui, ada delapan poin yang mendasari PKS mengambil
sikap menolak perpindahan Ibu Kota Negara tersebut. Kedelapan poin itu sebagai
berikut :
Pertama, rencana yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024 baru dalam bentuk konsep rencana
teknokratik. Artinya, RPJMN 2020-2024 ini belum menjadi dokumen perencanaan
yang disahkan dalam bentuk peraturan presiden.
Kedua, dokumen kajian yang disampaikan Menteri PPN/Bappenas
terkait penentuan lokasi masih dangkal dan sempit. Dangkal karena data dan
kajian yang disajikan tidak memuat hitungan dan kalkulasi secara detail serta
analisis mendalam berdasarkan berbagai teori. Sempit karena perspektif yang
lebih mengemuka adalah dari sisi ekonomi. Dari perspektif politik, sosial,
budaya, dan pertahanan keamanan tidak banyak disinggung.
Ketiga, persoalan sumber daya manusia para aparatur negara
(ASN) akan ikut terdampak. Kemungkinan besar 1 juta di antaranya harus ikut
pindah ke ibu kota baru. Itu tentunya kemungkinan besar akan diikuti oleh
kepindahan keluarganya yang akan membutuhkan fasilitas-fasilitas kehidupan,
seperti hunian, sekolah, dan rumah sakit.
Keempat, biaya perpindahan Ibu Kota yang tidak sedikit
jumlahnya. Pemerintah mengklaim biaya perpindahan Ibu Kota mencapai Rp466
triliun dan hanya 19 persen menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Meski begitu, hal tersebut tentu saja akan berdampak serius kepada
keuangan negara
Kelima, dari aspek distribusi produk domestik bruto (PDB)
Indonesia tahun 2018, sebagian besar di Jawa terutama di DKI menyumbang 17,3
persen dan Kalimantan Timur hanya sekitar 4,26 persen. Pola demikian sudah
terjadi sejak lama. Pemerintah Ibu Kota Negara baru sulit untuk menyeimbangkan
kontribusi per provinsi karena stimulan ekonominya berbeda.
Keenam, Pulau Kalimantan termasuk Kalimantan Timur di
dalamnya, selama ini dikenal sebagai paru-paru dunia karena luasnya hutan
tropis di pulau tersebut mencapai 40,8 juta ha. Kalimantan Timur sendiri
menyumbang 12,6 juta ha (31 persen). Walaupun konsep yang ditawarkan pemerintah
dalam wacana pemindahan ibukota ini adalah kota hutan seperti di London, PKS
memandang belum ada konsep utuh yang ditawarkan pemerintah untuk mewujudkan hal
tersebut.
Ketujuh, soal alasan pemerintah yang menyebut Jakarta
dianggap sudah tidak layak menjadi Ibu Kota mengingat banyaknya masalah
perkotaan seperti kemacetan, polusi udara, banjir, dan sampah.
PKS mengusulkan agar selain ada kajian dan kebijakan teknis
pemindahan Ibu Kota, Pemerintah juga harus membuat membuat kebijakan strategis
nasional untuk penyelesaian masalah perkotaan DKI Jakarta yang disusun bersama
daerah setempat, para akademisi, dan aliansi masyarakat.
Kedelapan, dari sisi pertahanan pemerintah perlu
mempertimbangkan posisi Kalimantan Timur yang berdekatan secara geografis
dengan Laut Tiongkok Selatan (LTS) karena sedang menjadi perairan sengketa
antara China dengan lima negara Asia lainnya. Perairan ini juga merupakan arena
persaingan global antara Amerika Serikat dengan negara-negara sekutunya.
(eddysantry)