Ramadhan Pohan Dieksekusi Ke Lapas Tanjung Gusta Medan

Medan – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara melakukan eksekusi terhadap terpidana kasus penipuan senilai Rp15,3 miliar terhadap ibu dan anak yang juga mantan Calon Wali Kota Medan Ramadhan Pohan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tanjung Gusta, Medan.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, Sumanggar Siagian dalam keteranganya, Senin (14/10/2019) menuturkan bahwa eksekusi terhadap politikus Partai Demokrat itu dilakukan berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang memvonisnya 3 tahun penjara.

Diketahui, Ramadhan terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur Pasal 378 jo Pasal 55 Ayat (1) ke (1) KUHP.

“Terpidana kita eksekusi pada Jumat (12/10) lalu sekitar pukul 13.00 WIB siang. Sesuai amar putusan Mahkamah Agung, terpidana dihukum 3 tahun penjara. Jadi terpidana menjalani masa hukumannya selama 3 tahun,” kata Sumanggar sebagaimana dilansir dari CNN

Menurut Sumanggar, Ramadhan Pohan cukup kooperatif karena datang tak lama setelah tim jaksa melayangkan surat pemanggilan.

“Terpidana kooperatif memenuhi panggilan dan langsung kita eksekusi ke LP Tanjung Gusta Medan,” bebernya.

Sedangkan terpidana lainnya dalam kasus ini, yakni Linda Savita Hora Panjaitan yang merupakan bendahara Ramadhan Pohan dalam tim sukses Pilkada Medan yang lalu, belum memenuhi panggilan eksekusi.

“Sudah kita layangkan, tapi belum datang dia. Kita tunggu. Bila beberapa kali panggilan dia mangkir kita akan jemput paksa,” jelas Sumanggar.

Diketahui, Majelis hakim Mahkamah Agung yang diketuai Andi Abu Ayyub Saleh dengan anggota Wahidin dan Margono menguatkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Medan yang menghukum Ramadhan Pohan 3 tahun penjara.

Sementara, di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Medan Ramadhan hanya dijatuhi hukuman 1 tahun 3 bulan penjara.

Dalam perkara ini, Ramadhan dan Savita Linda Hora Panjaitan dinyatakan telah menipu Rotua dan putranya Laurenz. Rotua merugi Rp10,8 miliar dan Laurenz Rp4,5 miliar, sehingga totalnya menjadi Rp15,3 miliar.

Perkara penipuan ini terjadi menjelang Pilkada Medan 2015. Korban mengaku terbujuk rayu dan janji hingga mau memberikan uang sebesar Rp15,3 miliar untuk kepentingan pencalonan Ramadhan Pohan.

Saat itu, Ramadhan Pohan mengaku akan dikirimi uang oleh Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu Ramadhan dan Linda mengiming-imingi korban dengan sejumlah persentase keuntungan. Untuk meyakinkan korban, Ramadhan Pohan meninggalkan cek kepada Laurenz. Ternyata saat akan dicairkan isi rekeningnya hanya sekitar Rp10 juta. (eddyS/ cnn )

Bupati Nunukan Kukuhkan Pemuda Penjaga Perbatasan RI

Bupati Nunukan Asmin Laura Hafid bersama pengurus Pemuda Penjaga Pebatasan RI di Fortune Hotel Nunukan, Minggu (13/10/2019). Foto: Eddy Santry

Nunukan – Dapat dibayangkan bila pemuda perbatasan bersatu padu bergandengan tangan menjaga harga diri bangsa dan komitmen membangun daerah, maka bisa dipastikan Kabupaten Nunukan akan semakin maju dan terdepan serta negara tetangga tentu semakin segan.

Demikian menurut Bupati Nunukan Asmin Laura Hafid kukuhkan pemuda penjaga perbatasan pada Minggu pagi (13/10) di Hotel Fortune Nunukan. Dengan tema memaksimalkan peran pemuda pemudi sebagai patok-patok hidup di batas negara dalam mendukung memperkuat ketahanan nasional, Laura berharap pengukukan tersebut tak hanya menjadi seremonial belaka.

“Saya harap Pemuda Penjaga Perbatasan mampu menajadi suri tauladan bagi generasi muda lainya dalam berpartisipasi menjaga kedaulatan,” tutur Laura.

Sekitar 96 orang menggunakan baju kaos berwarna hitam, para pemuda yang dikukuhkan oleh Laura tersebut berasal dari lokasi prioritas (lokpri) Kecamatan Nunukan dan Sei Menggaris, Kecamatan Sebatik Barat dan Kecamatan Tulin Onsoi

Lebih lanjuy Laura menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten Nunukan berkomitmen terus berupaya melakukan percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah perbatasan

“Pemkab Nunukan senantiasa melakukan upaya percepatan dan pemerataan pembangunan di semua sektor diseluruh wilayah Kabupaten Nunukan. harapan kita, dengan pemerataan pembangunan, akan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah, sekaligus pemerataan tingkat kesejahteraan masyarakat, yang pada gilirannya nanti, dapat memupuk kebanggaan sebagai warga negara Indonesia yang berdaulat dan mandiri” tutur Laura

Dalam pesan selanjutnya kepada para Pemuda tersebut, Laura berharap peran pemuda dalam menjaga marwah harga diri bangsa. Sedikitnya ada 3 arahan penting yang disampaikan oleh Laura untuk terus menggelorakan semangat nasionalisme khususnya pemuda penjaga perbatasan

Yang pertama menurut Laura, Pemuda Penjaga Perbatasan sebagai bagian dari masyarakat perbatasan antar negara, sudah menjadi harga mati bagi kita untuk tetap dalam pangkuan ibu pertiwi.

“Dan menjadi bagian yang utuh dalam negara kesatuan republik Indonesia. oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita semua, untuk terus meningkatkan pengetahuan dan pemahaman wawasan kebangsaan serta pendidikan bela negara, sebagai upaya untuk terus memupuk semangat nasionalisme masyarakat di perbatasan dengan senantiasa menggelorakan semangat merah putih dalam kehidupan sehari-hari” tandas Laura.

Selanjutnya Laura berpesan untuk terus menggalang semangat persatuan dan kesatuan, dan untuk terus memperkokoh kedaulatan bangsa Indonesia, maka sesungguhnya tantangan terberat yang kita hadapi adalah kedaulatan negara dalam arti yang lebih luas, tidak hanya kedaulatan teritorial atau wilayah negara yang meyangkut pertahanan dan keamanan, tetapi juga menyangkut kedaulatan ekonomi, sosial dan budaya.

Selain hal tersebut, Laura mengingatkan bahwa dalam rangka terus memupuk semangat nasionalisme, maka salah satu yang terpenting yang harus diwujudkan oleh segenap anak bangsa adalah mewujudkan karakter anak bangsa yang kuat, yang berbudaya dan berbudi pekerti yang luhur.

“Selain itu juga harus mempunyai daya kreatifitas, ide-ide yang inovatif, responsif terhadap lingkungan sekitar dan mampu melahirkan karya-karya nyata dalam pembangunan” pungkas Laura

Sementara Ketua DPP Pemuda Penjaga Perbatasan Paulus Murang menyampaikan sikap organisasi yang dipimpinnya akan selalu mendukung program dan kebijakan Pemerintah yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat di Perbatasan.

“Saya tegaskan Pemuda Penjaga Perbatasan siap mendukung program dicanangkan oleh Pemda Nunukan untuk percepatan pembangunan di daerah perbatasan” tegas Paulus. (eddyS)

Antisipasi Penyalahgunaan Narkoba,PPWI Pulang Pisau Selenggarakan Seminar Narkoba bagi Pelajar

Pulang Pisau – Dalam rangka mengantisipasi meluasnya penyalahgunaan narkotika, hari ini diselenggarakan seminar tentang bahaya penyalahgunaan narkoba di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Kegiatan ini dilaksanakan atas inisiatif PPWI Pulang Pisau, bekerjasama dengan Polres, Dinas Pendidikan, dan Bappeda Kabupaten Pulang Pisau, bertempat di aula Bappeda Pulang Pisau.

Seminar tersebut dihadiri tidak kurang dari 400 siswa SLTP dan SLTA di Pulang Pisau bersama para guru pendamping masing-masing sekolah.

Dari jajaran Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau, hadir Kapolres Pulang Pisau, diwakili oleh Kasat Narkoba, Iptu Pramono dan Kadis Pendidikan diwakili oleh Kabid Pendidikan Dasar dan Menengah, Sri Aji, S.Pd. Juga terlihat perwakilan dari Bappeda Pulang Pisau, dan beberapa Ormas.

Sebagai pemateri utama dalam seminar itu, hadir Brigjenpol Dr. Victor Pudjiadi, SpB, FICS, DFM, staf ahli kepala BNN Pusat. Turut mendampingi Dr. Victor, Ketua Umum PPWI Nasional, Wilson Lalengke dari Jakarta.

Dalam sambutannya saat membuka secara resmi seminar ini, Ketum PPWI Wilson Lalengke menekankan pentingnya memberikan informasi yang benar dengan stategi penyampaian yang efektif tentang segala hal yang terkait narkoba dan pencegahan penyalahgunaannya.

“Kehadiran Dr. Victor yang sangat ahli di bidang narkoba di tempat ini untuk menyajikan informasi yang benar terkait narkoba, kiranya para siswa kita mendapatkan wawasan sebagai bekal dalam bergaul di tengah-tengah komunitasnya,” ujar Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.

Dari pantauan lapangan, para siswa terlihat sangat antusias mengikuti seminar itu, terutama karena pemaparan materi yang dibawakan oleh narasumber Dr. Victor yang sangat variatif dan menarik.

Penyajian materi tentang narkoba, dampak dan strategi penanggulangannya, yang dibawakan dengan dibarengi atraksi sulap, seni pentas lagu dan nyanyi membuat siswa betah mengikuti acara dari awal hingga akhir kegiatan.

Pelibatan para siswa dalam beberapa permainan dan atraksi oleh narasumber menambah semangat dan semaraknya seminar tersebut.

Semua peserta aktif berpartisipasi dalam interaksi dengan pemateri.

Acara diakhiri dengan foto bersama dan pembagian sertifikat seminar. (APL/Red)

Ketua Askab PSSI Nunukan : Minimnya Dana Membuat Pesepakbola Berpotensi Sulit Meraih Prestasi


Nunukan – Kemampuan anak – anak muda di Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) di bidang olah raga terutama sepak bola menunjukan perkembangan yang pesat. Acap kali tiap mengikuti even berupa pertandingan di luar wilayah Nunukan, para pesepakbola tersebut selalu mampu menorehkan nama klub mereka di papan prestasi.

“Hampir tia kali anak – anak (pesepakbola – red) mengikuti even, tak pernah pulang dengan tangan hampa. Dan ini bukti bahwa para atllet tersebut sudah sejajar dengan pemain sepak bola profesional,” tutur Ketua Asosiai Kabupaten (AsKab) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Nunukan, Andi Mutamir, Kamis (10/10/2019).

Diketahui, dalam ajang kompetisi bergengsi Liga Berjenjang (LB) Usia 16 yang digelar di Banten pada 1 – 9 September 2019 baru -baru ini, PS Nunukan yang mewakili Provinsi Kaltara mampu masuk perempat final. Hal tersebut menurut Andi adalah prestasi yang luar biasa, pasalnya mampu menyingkirkan klub – klub dari kota besar.

“Itu membuktikan bahwa pesepakbola di Perbatasan ini sangat mungkin selangkah lagi memasuki dunia persepakbolaan yang cerah,” tandasnya.

Namun kemauan dan kemauan yang dimiliki para atllet untuk menjadi pesepakbola profesional belum berbanding lurus dengan support yang diberikan. Minimnya pendanaan karena kurangnya sponsor, ungkap Andi, membuat para atleet maupun AsKab sendiri sangat kurang dalam mempersiapkan dan mengikuti pertandingan.

Tak seperti klub – klub diwilayah lain yang mendapat suport dari berbagai pihak, Andi mengungkapkan bahwa para atleet di Nununukan tak jarang yamg harus mengukuti sebuah kompetisi dengan cara swadaya dalam pembiayaan. Hal inilah yang menurut Andi sebagai sebuah ironi dari prestasi atas kecakapan pesepakbola di Nunuakan.

“Yang kita khawatirkan, apabila ada atllet yang merasa kemampuanya tak sebanding dengan respon yang diberikan, mereka akan hijrah atau gabung dengan klub di wilayah lain yang lebih menghargai prestasi mereka,” paparnya

Pihak AsKab Nunukan sendiri menurut Andi sudah sangat maksimal dalam memberi dorongan dalam memfasilitasi para atleet tersebut. Namun ia mengakui, dengan pendanaan yang sangat terbatas, pihaknya pun harus ‘memutar otak’ agar kompetisi maupun pertandingan di timgkat lokal tetap digelar.

“Untuk itu, kami benar – benar sangat berterimakasih kepada Kodim 0911/Nunukan serta Pangkalan Angkatan Laut ( Lanal) Nunukan dan pihak -pihak terkai yang sudah sudi bekerjasama melalui penyelenggaraan kompetisi lokal,” kata Andi.

Diketahui, baru – baru ini, Kodim 0911/Nunukan kembali menunjukan kepedulianya terhadap masa depan persepakbolaan di Perbatasan dengan menyelenggarakan Liga Nunukan TNI Cup II. Demikian pula Lanal Nunukan, yang belum lama menggelar kometisi Futsal Dan Lanal Nunukan Cub.

Andi berharap, dengan digelarnya berbagai kompetisi tersebut, pihak lain termotivasi sehingga dapat bekerja sama mengelar kompetisi serupa. Karena menurut Andi, melalui berbagai pertandingan itulah prestasi dari para atleet dapat tersaring yang manfaatnya tak hanya bagi si atleet semata melainkan juga untuk semua masyarakat Nunukan.

“Selain memunculkan bibit – bibit baru, digelarnya sebuah kompetsi sepak bola pasti akan berimbas pada perekonomian masyarakat sekitar, apalagi jika pertandingan itu berskala nasional,” pungkas Andi. (EddyS)

 

Read more

DPI Bangun Jaringan Media Perangi Monopoli Belanja Iklan

Penulis : Heintje G. Mandagie

MENCERMATI situasi akhir-akhir ini, aksi kekerasan oknum aparat terhadap wartawan di negeri ini sepertinya tidak akan ada habis-habisnya. Sederet kasus kerasan terhadap wartawan dari tahun ke tahun ternyata belum cukup kuat membangunkan kesadaran pemerintah dari tidur panjangnya selama ini. Kekerasan terhadap pers yang berujung kematian rupanya hanya menjadi catatan penting bagi pemerintah, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, dan bahkan kami para pimpinan organisasi pers.

Sampai hari ini belum ada upaya berlevel extraordinary atau luar biasa dari pihak manapun dalam menghentikan kekerasan terhadap wartawan di Indonesia. Tak heran jika aksi kekerasan terhadap wartawan masih saja terjadi sampai hari ini.

Tengok saja aksi kekerasan terhadap sejumlah wartawan saat meliput aksi unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah baru-baru ini. Semua pihak mengecam aksi kekerasan tersebut namun tetap saja penyelesaian kasus ini hanya berujung permintaan maaf.

Gerakan perjuangan kemerdekaan pers yang nyaris berada pada level extraordinary sesungguhnya pernah dimulai pada tahun 2018 lewat gugatan terhadap Dewan Pers oleh dua pimpinan organisasi pers, kemudian berlanjut lewat aksi damai di Gedung Dewan Pers dan di depan gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lalu bermuara pada pelaksanaan Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018, dan berakhir pada Kongres Pers Indonesia 2019. Dari pergerakan inilah lahir Dewan Pers Indonesia atau DPI.

Gerakan ini nyaris berada pada level extraordinary. Namun sayangnya sudah mencapai tittik antiklimaks ketika dentuman kemeriahan sorak-sorai ribuan wartawan dari berbagai penjuru tanah air itu kini mulai surut dan nyaris tak berbekas.

Dewan Pers Indonesia sebagai lembaga perjuangan kemerdekaan pers harus memikul tanggung-jawab besar atas asa yang dititip lewat keringat dan lembaran rupiah dari sekian ribu wartawan Indonesia yang terlecut hati nuraninya menyerbu ibukota negara demi sebuah cita-cita yakni merdeka dari kriminalisasi dan diskriminasi Dewan Pers.

Struktur kepengurusan DPI hasil Kongres Pers Indonesia 2019 sudah resmi diserahkan ke Presiden RI Joko Widodo melalui surat DPI nomor : 02/DPI/IV/2019 tanggal 16 April 2019 namun hingga kini belum juga memperoleh jawaban dari presiden.

Menyadari kondisi ini Perlu diketahui bahwa legalitas DPI menggunakan Statuta dan bukan Anggaran Dasar atau Angaran Rumah Tangga. Penggunaan Statuta DPI ditetapkan karena DPI bukanlah organisasi perkumpulan melainkan lembaga independen yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Disetujui atau tidak oleh Presiden, itu menjadi urusan presiden. Sejarah Pers Indonesia yang akan mencatat itu. DPI harus tetap jalan sesuai amanah yang diberikan oleh ribuan wartawan dan pimpinan media.

Dua peraturan pers saat Kongres Pers Indonesia 2019 yang lahir dari embrio Mubes Pers Indonesia 2018 sesungguhnya merupakan goresan sejarah baru bagi kehidupan pers Indonesia. Peraturan tentang verifikasi dan sertifikasi perusahaan pers, serta Peraturan tentang Sertifikasi Kompetensi Wartawan adalah wujud perlawanan Pers Indonesia atas peraturan Dewan Pers yang selama ini membelenggu kemerdekaan pers. Lewat kedua peraturan itu, peran Organisasi Pers dikembalikan pada tatanannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. DPI hanya berfungsi sebagai fasilitator bukan regulator.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas gugatan terhadap Dewan Pers makin menguatkan peraturan pers yang ditetapkan oleh Kongres Pers. Dalam putusan itu PT membatalkan keputusan Pengadilan Negeri yang menyatakan peraturan DP adalah bagian dari perundang-undangan. Dengan begitu peraturan pers adalah domain organisasi pers bukan DP atau DPI sekalipun.

Sehingga program sertifikasi media kini menjadi domain Organisasi Pers dan bukan lagi Dewan Pers. Organisasi Pers kini membantu DPI melaksanakan fungsi pendataan media lewat sertifikasi perusahaan pers. Program ini terbuka lebar bagi media yang selama ini dianggap abal-abal atau belum terverifikasi Dewan Pers.

Upaya ini memang masih menimbulkan pro dan kontra. Tetapi pada kenyataannya respon positif pimpinan media atau perusahaan pers kini mulai berdatangan dari berbagai penjuru tanah air. Tim sertifikasi media Serikat Pers Republik Indonesia mulai kebanjiran pendaftaran media dari berbagai daerah.

Target DPI dalam program ini adalah memfasilitasi 43.000 media yang sering dihina Dewan Pers dengan sebutan abal-abal untuk diikut sertakan dalam program Pembentukan Jaringan Media Nasional Dewan Pers Indonesia.

Pembentukan jaringan media se Indonesia ini bertujuan untuk membangun kekuatan baru dalam rangka merebut belanja iklan nasional. Sebagai catatan, ratusan perusahaan besar di Indonesia mengeluarkan biaya lebih dari 100 triliun rupiah setiap tahun untuk kebutuhan belanja iklan. Sangat disayangkan belanja iklan sebesar itu hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki perusahaan pers atau media berskala nasional.

Tercatat pemilik media berskala nasional peraih belanja iklan triliunan rupiah yaitu : Hary Tanoesudibjo (MNC Group: RCTI, Golbal TV, MNC TV, iNews TV, dan media lainnya), Surya Paloh (Metro TV dan Media Indonesia), Chairul Tanjung (CT Corp: Trans TV, Trans 7, Detik News), Aburizal Bakri (AN TV, TV One, dan Viva News), Eddy Kusnadi Sariatdmadja (SCTV, Indosiar, O Chanel), dan Jacob Oetama (Kompas Gramedia : Kompas TV, KTV, Koran KOMPAS).

Pada tahun 2017 lalu, belanja iklan nasional mencapai 145 triliun berdasarkan hasil temuan Nielsen Ad Intel. Dari angka 145 triliun itu, didominasi oleh iklan TV mencapai 80 persen. Artinya 20 persen atau sekitar 29 triliun sisanya diperebutkan oleh media lain di luar itu. Media lokal bahkan nyaris tidak kebagian belanja iklan nasional tersebut.

Ironisnya, pendapatan media-media nasional mencapai triliunan rupiah namun gaji wartawannya masih jauh di bawah standar gaji bagi jurnalis.

Bedasarkan laporan www.averagesalarysurvey.com pada tahun 2017 lalu tercatat jurnalis di Jakarta menghasilkan gaji hanya sebesar rata-rata US $ 5.329 per tahun atau gross salary Rp.61,666.666 per tahun dan average net salary Rp 54.000.000 per tahun.

The Jakarta Pos menulis pada tahun 2014 lalu Aliansi Jurnalis Independen atau AJI mencatat gaji minimum wartawan di Indonesia tidak boleh kurang dari Rp. 7.5 juta per bulan atau US $ 572 per bulan.

Namun fakta yang sesungguhnya terjadi, berdasarkan riset DPP SPRI, hingga kini masih banyak media nasional yang memberi gaji kepada wartawan pemula jauh dari angka yang disebutkan tersebut yakni hanya di kisaran 2 juta hingga 3 juta rupiah. Bahkan SPRI mencatat ada media yang memberi upah kepada wartawan yang bertugas di daerah menggunakan system pembayaran berdasarkan jumlah berita yang ditayang. Lebih parah lagi, SPRI menemukan, sebagian besar media lokal berbasis internet atau online tidak memberikan gaji atau intensif kepada wartawan.

Kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan. Ketika belanja iklan mencapai angka rata-rata di atas 100 tliliun per tahun, ternyata nasib wartawan Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Akibatnya ada banyak wartawan justeru memilih nyambi fee proyek pemerintah atau “menjual” idealismenya dengan
menerima imbalan
dari nara sumber. Ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan.

Selama bertahun-tahun lamanya Dewan Pers hanya diam membisu melihat kenyataan ini. Tidak mungkin Dewan Pers tidak tahu atau paham atas kondisi ini. Padahal salah satu fungsi Dewan Pers yang diatur dalam UU Pers adalah melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.

Lantas, apakah Dewan Pers memperjuangkan kehidupan pers dan kemerdekaan pers setelah selama 20 tahun diberi fasilitas anggaran miliaran rupiah tiap tahun?

Kemerdekaan pers sangat identik dengan independensi media. Namun, bagaimana mungkin media bisa independen jika pada kenyataannya wartawan tidak digaji dengan layak.

Lebih jelas lagi, pada pasal 10 UU Pers disebutkan perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam
bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Namun selama ini belum nampak Dewan Pers memperjuangkan hal itu untuk peningkatan kualitas pers Indonesia.

Gaji wartawan Indonesia di Asia Tenggara saja tercatat adalah paling rendah. Berdasarkan laporan Merdeka.com, dibandingkan dengan 11 negara di Asia Tenggara, gaji wartawan Indonesia berada pada level paling rendah.

Apa solusi dari segala carut-marut permasalahan ini? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin akan mengusik bisnis utama para konglomerat pemilik media yang selama 20 tahun ini menikmati dan memonopoli perolehan belanja iklan nasional.

Dewan Pers seolah menjadi kaki-tangan para konglomerat media yang tidak mau bisnisnya terganggu oleh munculnya ratusan Televisi Lokal, media cetak, dan ribuan media Online yang berhak atas jatah ‘kue’ belanja iklan nasional pasca UU Pers diberlakukan.

Menyikapi kondisi ini, DPI akan mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar membuat satu regulasi terkait belanja iklan nasional agar dapat juga disalurkan ke daerah sehingga tidak lagi terpusat di Jakarta dan hanya dinikmati oleh media nasional.

Sebab pada kenyataannya masyarakat lokal lah yang berbelanja semua produk yang diiklankan di media nasional, namun seluruh belanja iklan nasional yang mencapai lebih dari 100 triliun rupiah pertahun hanya dinikmati perusahan pers di Jakarta.

Akibatnya, ribuan media lokal terpaksa harus ‘mengemis’ iklan atau kerja sama dengan pemerintah daerah karena tidak kebagian ‘kue’ belanja iklan nasional. Dampak buruknya adalah pers dengan sangat terpaksa harus ‘menjual’ idealismenya dengan menawarkan kontrak kerja sama pemerintah daerah demi menyambung hidup orperasional perusahaan medianya.

Dewan Pers bukannya mencari solusi malah menghina media yang belum terverifikasi dengan sebutan abal-abal. Media yang belum terverifikasi ditutup akses ekonominya dengan membuat edaran ke seluruh instansi pemerintah agar tidak melakukan kerja sama dengan media yang belum terverifikasi Dewan Pers. Celakanya, Dewan Pers mengklaim ada 43 ribu media yang belum terverifikasi. Jadi puluhan ribu media itu terancam akses ekonominya akibat ulah DP tersebut. Padahal ribuan media lokal ini sesungguhnya adalah Usaha Kecil Menengah atau UKM di bidang pers yang berhak mendapat perhatian pemerintah. Karena UKM Media ini sudah memberi kontribusi mengurangi angka pengangguran yang cukup besar. Namun sangat disayangkan justeru dihina dan dilecehkan oleh Dewan Pers dengan sebutan abal-abal.

Dewan Pers sepertinya sengaja melepas tangung-jawab dengan menggeneralisir ribuan media itu didirkan dengan tujuan untuk memeras. Padahal kasus pemerasan justeru lebih berpotensi dilakukan oleh media-media mainstream yang memiliki kekuatan menciptakan opini publik yang sangat ditakuti oleh pejabat atau pengusaha hitam.

Sebagai penutup, program sertifikasi media yang saat ini sedang dilaksanakan DPI melalui organisasi-organisasi pers akan menjadi senjata pamungkas untuk usaha merebut belanja iklan nasional. Jika DPI berhasil mendata ribuan media lokal menjadi bagian dari Jaringan Media Nasional DPI maka kekuatan jaringan media ini yang akan disodorkan ke pemerintah maupun agen periklanan untuk mendapatkan jatah ‘kue’ belanja iklan nasional.

Media-media yang lebih dahulu terdata di DPI nantinya berhak mendapatkan fasilitas jatah belanja iklan nasional yang sedang diperjuangkan oleh DPI. Bentuk kerja sama dengan berbagai lembaga di tingkat pusat juga terbuka lebar jika jaringan media ini bisa terwujud.

Dengan langkah ini maka ke depan nanti media-media lokal bisa lebih mandiri dan independen. Dan tentunya kesejahteraan wartawan bisa ditingkatkan jika media tempat dia bekerja memperoleh peluang untuk mendapatkan kesempatan jatah belanja iklan nasional. Jika saja setiap provinsi kebagian jatah belanja iklan minimal 1 triliun rupiah, maka kesejahteraan wartawan terjamin dan independensi media makin kuat. Pada gilirannya kemerdekaan pers bisa ditegakan dan rakyat makin sejahtera karena pemerintahan diawasi ketat oleh pers yang independen. Jangan ada lagi wartawan atau media ‘mengemis’ iklan dan kerja sama dengan pemerintah karena wartawan bukanlah (*maaf) ‘pengemis sakti’ yang harus ditakuti.

So, pilihan kembali berada di tangan pemilik media. Apakah mau tetap ‘mengemis’ iklan dari pemerintah dan pasrah dihina dengan sebutan abal-abal, atau mau bersatu melawan tirani kekuasaan Dewan Pers?

Dan kepada para pimpinan Organisasi Pers, akankah terus diam dan pasrah atas ulah Dewan Pers dan kroni-kroninya yang masih terus mendiskriminasi wartawan dan media di luar konstiuennya? Dengan berdiam diri maka kita berpotensi membiarkan ‘kemiskinan’ melanda pers Indonesia dan pada gilirannya pejabat, pengusaha hitam, dan konglomerat media akan menari-menari di atas penderitaan rakyat karena tidak ada lagi media yang berani atau mampu mengawasinya. **

Penulis : Hence Mandagi,
Ketua Dewan Pers Indonesia dan Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia