22 pemuda Calon secata Gel I T.A 2020 Kodim 1002/Barabai Lakukan pemeriksaan Awal


Berandankrinews.com
Kodim 100/Barabai Melaksanakan Pemeriksaan Kesehatan Awal Calon Secata Gel I TA. 2020
Barabai Kalsel.Sebanyak 22 oraang Calon Secata PK Gelombang I Tahun 2020 yang sudah mendaftar di Kodim 1002/Barabai mendapat pemeriksaan kesehatan awal di Poskes 06.10.09 Barabai, Selasa (18/02/2020

Diawali pengecekan personel oleh Pasi Pers Kodim 1002/Barabai Kapten Inf Rudi Hartono dibantu PNS Karyansyah, satu persatu para calon melaksanakan pemeriksaan kesehatan diawali dengan pengukuran tinggi badan, berat badan,Tensi oleh anggota Poskes 06.10.09 Barabai Serka Samsuni Lesmana dan Serka Abdussalim.

Sedangkan pemeriksaan kesehatan lanjutan dilakukan oleh dr Shinta Kartika meliputi pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggoroan, Mata, Verises, Farikokel, Ambiyen dan Gigi.

Disampaikan oleh Kapten Inf Rudi Hartono bahwa dari 39 orang yang sudah terdaftar di Kodim 1002/Barabai, 22 orang mengikuti pemeriksaan kesehatan awal sisanya ada yang ijin mengurus syarmin dan ada juga yang melaksanakan rikes sendiri diluar,”terangnya..

Lebih lanjut Kapten Inf Rudi Hartono menyampaikan bahwa pemeriksaan kesehatan awal ini dilakukan untuk mengetahui sejak dini kondisi para calon yang akan mengikuti seleksi menjadi anggota TNI AD yaitu Secatam Gelombang I TA. 2020.

Untuk hasil pemeriksaan kesehatan ini langsung disampaikan kepada para calon, jadi dari hasil pemeriksaan kesehatan tersebut para calon dapat mengetahui kesehatannya masing-masing, sehingga apabila ada kendala masalah kesehatan

para calon bisa langsung berobat ataupun berkonsultasi dengan dokter,dan pemeriksaan kesehatan ini gratis tidak dipungut biaya apapun,karena kami sifatnya membantu memfasilitasi para calon yang mendaftar menjadi TNI AD agar benar benar sehat,”tegas Rudi Hartono.

(pendim1002).

Ketua umum PPWI :DP ibarat Kambing Bandot yang sedang Birahi


Berandankrinews.com
Jakarta – Dewan Pers (DP) saat ini tidak ubahnya seperti seekor kambing bandot (jantan berumur lansia) yang sedang birahi,kebelet mau kawin.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, S,Pd, M.Sc, MA kepada media, sebagai respon atas kisruh pernyataan Ketua DP M. Nuh terkait keharusan pemerintah menolak bekerja sama dengan media-media yang tidak terverifikasi DP.

Sebagaimana ramai diberitakan bahwa mantan mendiknas M. Nuh yang saat ini menjabat sebagai Ketua DP, memberikan pernyataan yang bersifat menghasut pemerintah, baik pusat maupun daerah agar tidak melakukan kerjasama dengan pengelola media yang belum terverifikasi DP. Hal itu disampaikan M. Nuh di Makassar beberapa waktu lalu. Pernyataan tersebut langsung menyulut reaksi keras dari beberapa pengelola media dan organisasi pers tanah air.

Bagi Wilson, kata dia, ucapan provokatif seperti yang dilontarkan M. Nuh bukanlah hal baru dan luar biasa.
Dia melihatnya sebagai hal yang biasa saja, dan tidak perlu ditanggapi serius.

“Sebagai ketua sebuah lembaga penampung para komprador yang kehilangan harga diri di tingkat nasional, wajar saja dia cari panggung pemberitaan. Jadi, itu biasa saja,” ungkap lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, Senin, 12 Agustus 2019.

Menurut trainer jurnalisme warga bagi ribuan anggota TNI, Polri, guru, dosen, PNS, mahasiswa, wartawan, ormas, dan masyarakat umum itu, DP sedang mengalami delusi akut sebagai pejantan tangguh. “Ibarat kambing tua ompong yang sedang birahi, dia lihat institusi pemerintah sebagai betina yang sedang dilirik untuk dikawini. Di lain pihak,

dia memandang lembaga-lembaga publikasi media massa yang tumbuh bak cendawan di musim hujan ini sebagai kaum muda penuh energik yang menjadi pesaingnya. Jadi, sebagai kambing bandot, dia menunjukkan tanduk tuanya ke berbagai arah yang tujuannya menggertak media-media sambil memikat hati pemerintah pusat dan daerah,” urai Wilson beranalogi.

Untuk itu, jebolan pascasarjana Global Ethics dari Birmingham University Inggris itu menghimbau kepada rekan-rekan media dan organisasi pers yang ada, agar tidak reaktif atas pernyataan sang Ketua DP itu.“Biasa sajalah. Semua orang tahu,apa sih prestasi M. Nuh saat jadi mendiknas di bawah SBY lalu? Pendidikan di negeri ini makin bobrok.

Bisa dibayangkan dunia pers kita akan makin rusak yàa,” kata Wilson yang pernah menjadi guru SMPN Sapat, SMP PGRI Pekanbaru,SMP YLPI Marpoyan,SMAN Plus Provinsi Riau,SMKN 2 Pekanbaru, SMK Kansai Pekanbaru, dan dosen paruh waktu di Bina Nusantara University, Jakarta ini.

Kepada kawan-kawan pengelola media, alumni penerima beasiswa Ford Foundation dan Erasmus Mundus ini menghimbau agar tidak berkecil hati atas kelakuan para pengurus DP bersama jaringan oknum organisasi pers partisannya itu.

“Saya menghimbau kawan-kawan pengelola media, jangan sekali-sekali mengemis ke pemerintah, jangan biarkan idealisme Anda tergerus oleh rupiah, jangan tiru perilaku partisan kawan-kawan di dua-tiga organisasi pers anu itu yàa. Kita harus mandiri, melalui kerja goyong-royong saling mendukung satu dengan lainnya,” imbuh Wilson lagi.

Untuk menyiasati pembiayaan pengelolaan media, kata lelaki kelahiran Kasingoli, Morowali Utara, Sulteng itu, setiap pewarta jangan menggantungkan hidup-mati medianya dari bantuan atau kerjasama dengan pemerintah. “Media dan organisasi pers harus mengembangkan jiwa entrepreneurship anggotanya.

Jangan gantungkan nasibmu dari kerja-kerja jurnalistik belaka, tapi manfaatkan jaringan dan aktivitas jurnalisme untuk mendapatkan peluang usaha maupun bisnis lainnya,” jelas Wilson yang merupakan salah satu pendiri SMAN Plus Provinsi Riau dan SMK Kansai Pekanbaru belasan tahun lalu.

Sementara itu, Wilson juga menitipkan pesan ke aparat pemerintah, terutama pemerintah daerah, agar tidak terkecoh dan ikut genit-genitan bersama DP dan beberapa oknum organisasi pers konstituen DP Catatan “Pemda harus sadar, para wartawan itu adalah bagian tak terpisahkan dari rakyat di daerah Anda masing-masing.

Siapa lagi yang akan mengayomi dan memberdayakan mereka jika bukan pemerintah daerahnya? Anda bertanggung-jawab dunia akhirat atas rakyat yang ada di wilayah masing-masing,termasuk ribuan wartawan bersama keluarganyCa
Jangan ikutan genit bersama si bandot birahi itu,” pungkas Wilson yang juga menjabat sebagai Sekretaris keluarga warga Alumni Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad 21 (Kappija-21) itu.

Penulis
Wilson lalengke S.Pd M.SC .MA

Catatan tulisan Ini pernah dimuat di beberapa media tahun 2019

Ada peluang Besar diantara “Pelacur Pers ” Pengemis Sakti ” Dan Dewan Pers

Jakarta-Berandankrinews.com

Oleh :
Heintje G. Mandagie
Ketum DPP SPRI /
Ketua Dewan Pers Indonesia

Foto bersama Heintce G Mandagie
Ketua umum dewan pers Independen ,Iwan Hammer media online Berandankrinews.com
Jakarta 22-nopember 2018

Judul tulisan ini sesungguhnya tidaklah seekstrim tudingan media abal-abal yang terus dihembuskan Dewan Pers dan para pelayannya terhadap media lokal yang belum terverifikasi.Potret buruk media lokal yang menjadi corong informasi publik adalah menu utama propaganda  sekelompok elit politik yang ingin terus menguasai Dewan Pers demi mengontrol kekuasaan.

Pelaku pers nasional begitu rela diseret ke ruang gelap kemerdekaan pers.  Kelihatannya bangga sekali berada di kelompok elit media atau lebih dikenal dengan sebutan media mainstream.

Bahkan saat ini, menjadi konstituen Dewan Pers -bagi sebagian organisasi pers- adalah ibarat barang langkah dan mahal di pasaran. Tak heran ada kelompok organisasi pers yang ikut berjuang menggelar Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019 rela menjual idealisme dengan menjilat Dewan Pers hanya untuk memburu status menjadi konstituen Dewan Pers.

Sudah menjadi rahasia umum “Pengemis Sakti” (baca wartawan media mainstream) bertahun-tahun sadar dijadikan “sapi perahan” para konglomerat media, namun tetap saja angkat kepala menjalankan profesi mulia ini.

Amplop putih berisi lembaran rupiah masih saja menjadi teman setia di lapangan.Idealisme hanyalah label kamuflase wartawan yang punya merek UKW.

Selama bertahun-tahun pasal 10 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak berlaku di republik ini.Bahwa Pasal 10 UU Pers ini mengatur kesejahteraan wartawan wajib diberikan perusahaan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya, namun tidak pernah terimplementasi.Faktanya,wartawan digaji rendah namun dituntut tetap idealis.Sementara antara gaji dan kebutuhan bulanan wartawan tidak imbang, bahkan cenderung minus.

Dewan Pers dan konstituennya yang memiliki kewenangan pengawasan hanya diam membisu. Wartawan dibiarkan “melacur” dan menjadi “pengemis sakti” selama bertahun-tahun.Sementara perusahaan pers meraup untung besar dibiarkan saja tidak memenuhi kewajibannya.

Sebagai wartawan yang pernah memimpin beberapa media mainstream lokal, penulis sudah paham betul dengan situasi pasrah dijadikan “sapi perahan” pemilik media. Pada akhirnya “melacurkan diri” atau menjadi “pengemis sakti” menjadi pilihan untuk mengais rejeki dari menjalankan profesi sebagai wartawan. Ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan dan masih berlanjut hingga saat ini, bahkan terjadi di seluruh Indonesia.

Alih-alih kondisi ini diatasi, Dewan Pers malah pura-pura sibuk mengurus verifikasi perusahaan pers dan Uji Kompetensi Wartawan.

Bagaimana mungkin wartawan bisa kompeten jika praktek terima amplop masih jadi pilihan utama untuk menutupi biaya bulanan. Buntutnya idealisme pers harus tergadaikan. Ini bukti pers di Indonesia belum merdeka. Artinya kita insan pers terpaksa harus berlumur “dosa” akibat menjual idealisme pers.

Padahal faktanya setiap tahun ada angka lebih dari 100 triliun rupiah perusahaan pers meraup pemasukan dari belanja iklan nasional. Tapi wartawan tidak pernah menerima hak kesejahteraannya yang dijamin pasal 10 UU Pers. Wartawan justeru terseret konflik kepentingan akibat label konstituen dan non konstituen, lalu tanpa sadar saling menyerang lewat media. Maka jadilah jeruk makan jeruk.

Lantas upaya apa yang sudah dilakukan Dewan Pers untuk menjamin kemerdekaan pers? Justeru sangat ironis. Bukannya memperjuangkan kesejahteraan wartawan, Dewan Pers malah asik menebar isu media abal-abal.

UU Pers menugaskan Dewan Pers mendata perusahaan pers, tapi yang dilakukan adalah memverifikasi perusahaan pers. Perusahaan pers yang lahir di era kemerdekaan pers pasca disahkannya UU Pers tahun 1999, kini  terus bermunculan. Bahkan Dewan Pers sendiri mengklaim ada 43 ribu media yang belum terverifikasi.Itu artinya, Dewan Pers dengan kondisi personil yang hanya 9 orang, membuat kebijakan melakukan sendiri verifikasi perusahaan pers di seluruh Indonesia.

Logikanya,apakah Dewan Pers mampu melakukan verifikasi faktual ke 40 ribuan media lokal di seluruh Indonesia?

Jawabannya sederhana. Kita coba ikuti permainan Dewan Pers.Katakanlah 10 tahun proses verifikasi media ini dilakukan Dewan Pers bersama kroni-kroni konstituennya.

Dari data yang diakses di situs Dewan Pers per 17 Februari 2020, tercatat baru 1216 yang terdata. Itupun belum semua dinyatakan terverifikasi faktual. Artinya, masih ada seribu lebih perusahaan pers yang sudah terverifikasi administrasi tapi belum terverifikasi faktual. Fakta data membuktikan bahwa sudah selama 10 tahun Dewan Pers bekerja tapi kenyataannya hanya mampu memverifikasi faktual dua ratusan media saja . Bagaimana mungkin puluhan ribu bahkan ratusan ribu media bisa diverifikasi faktual jika kinerja 10 tahun saja fakta datanya seperti itu. Butuh berapa puluh tahun lagi bagi media yang belum terverifikasi mendapat gilirannya?

Sekarang perusahaan pers yang belum terverifikasi, pada kenyataannya malah dipotret buruk dengan sebutan abal-abal. Dan bahkan, sengaja dimunculkan propaganda negatif bahwa kerja sama pemerintah dengan media yang belum terverifikasi akan berdampak pidana atau temuan. Meski BPK RI sudah membuat klarifikasi ke DPP Serikat Pers Republik Indonesia bahwa BPK belum menggunakan peraturan verifikasi Dewan Pers sebagai dasar audit keuangan pemerintah, namun berita hoax itu tetap saja dihembuskan.

Sekarang kita coba mulai berpikir positif dan melihat peluang besar terhadap munculnya puluhan ribu media lokal berbasis online.

Sebelum itu, kita runut dulu ke belakang tentang fakta bahwa ada ribuan media dan belasan organisasi pers yang merasa gerah dengan sikap Dewan Pers tersebut, kemudian memilih membentuk Dewan Pers Indonesia melalui keputusan Kongres Pers Indonesia 2019. Dewan Pers Indonesia dibentuk sebagai solusi menggantikan peran Dewan Pers yang dianggap tidak mampu menjalankan amanah sesuai UU Pers.

Lalu apa saja yang menjadi peluang besar dari keberadaan puluhan ribu media lokal tersebut?

Peluang besar itu adalah ketersediaan lapangan kerja makin besar untuk menyerap puluhan ribu tenaga kerja profesional di bidang pers. Selain itu, potensi belanja iklan nasional bisa terdistribusi ke seluruh Indonesia secara merata dan tidak hanya terpusat di Jakarta. Dengan begitu maka puluhan triliun anggaran belanja iklan nasional bisa kembali ke daerah lewat kerja sama perusahaan pengguna jasa periklanan dengan media-media lokal.

Jika peluang besar ini bisa terwujud maka ke depan nanti tidak akan ada lagi media lokal “mengemis” kerja sama dengan pemerintah daerah. Dan pada gilirannya wartawan bisa sejahtera dan media makin independen.

Untuk mewujudkan peluang besar ini, Dewan Pers Indonesia telah membangun jaringan media melalui program sertifikasi media.Media yang sudah disertifikasi otomatis telah menjadi bagian dari jaringan Media DPI. Dari langkah ini maka DPI memiliki keyakinan akan kekuatan jaringan media ini mampu mengontrol dan menciptakan opini publik dalam satu irama pemberitaan. Inilah bargaining yang harus kita ciptakan bersama.Beberapa kali berita yang direlease melalui jaringan media DPI mampu menciptakan opini publik di seantero penjuru tanah air.

Kekuatan jaringan media DPI pada gilirannya akan setara atau bahkan lebih dahsyat dari media mainstream berskala nasional sekalipun.Ini patut dibanggakan atas kerja sama semua pihak. Bahkan, ada salah satu jaringan media DPI yang digawangi Hendri Kampai, telah menciptakan aplikasi media dan mampu menyatukan media-media lokal di seluruh Indonesia dalam satu sistem. Saat ini tercatat sudah ada kurang lebih 3000 media masuk dalam sistem ini dan akan terus bertambah setiap hari.

Pemerintah Daerah dan jajaran Pemerintah Pusat seharusnya tidak mengindahkan propaganda negatif tentang media-media lokal. Sebab perusahaan pers yang bernaung di DPI sedang disertifikasi secara sah sesuai peraturan perundang-undangan melalui organisasi-organisasi pers (berbadan hukum) yang menjadi konstituen Dewan Pers Indonesia, termasuk SPRI.

Pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan media-media yang sudah tersertifikasi DPI.Tidak perlu terpengaruh atau takut dengan ancaman DEWAN PERS .Karena, DPI memiliki jaringan media sendiri yang sebagian sudah tersertifikasi dan layak mendapat hak atau akses ekonomi yang sama dengan media terverifikasi Dewan Pers.

SPRI yang menerbitkan Sertifikasi Media adalah organisasi pers yang berbadan hukum resmi dari KemenkumHAM RI.
Jadi produk sertifikasi media SPRI yang turut disahkan DPI adalah sah sesuai peraturan perundang-undangan.Kalau ada yang mengatakan tidak sah maka itu akan berhadapan dengan hukum.

Yang pasti negara sudah menjamin setiap orang berhak berusaha dan mendirikan perusahaan yang badan hukumnya disahkan pemerintah melalui Dirjen AHU KemenkumHAM RI.UU Pers hanya mengatur syarat mendirikan perusahaan pers adalah berbadan hukum Indonesia dan bukan verifikasi Dewan Pers atau bahkan Sertifikasi Media DPI sekalipun.

Sertifikasi Media hanyalah alat untuk mendata perusahaan pers bukan sebagai bukti keabsahan media.

DPI sendiri menjadikan program sertifikasi media untuk membangun jaringan media.

Saat ini kita diajak bermain oleh Dewan Pers dan kroni-kroninya untuk melawan pemerintah yang kabarnya sedang menyusun draft revisi Undang-Undang tentang Pers. Beberapa pasal yang dianggap pemerintah ikut campur dalam ruang lingkup kehidupan pers ditentang.Salah satunya soal pemberian sanksi jika melanggar.

Pada kondisi ini kita abaikan dulu substansi permasalahan yang diprotes oleh organisasi-organisasi konstituen Dewan Pers.Toh investasi media asing yang sepertinya mau dikontrol pemerintah tidaklah berpengaruh langsung bagi kehidupan pers lokal.

Saat ini, ada dan tidak adanya revisi UU Pers, faktanya media-media lokal yang disebut abal-abal sudah terbiasa ditutup akses ekonominya oleh Dewan Pers lewat propaganda negatifnya.

Wartawan media yang disebut abal-abal pun sadar betul bahwa keberadaannya tidak se “sexy” wartawan media mainstream. Makanya untuk “melacurkan diri” tidak mungkin dilirik.Wartawan media-media yang belum terverifikasi sudah terbiasa pula dihina dengan sebutan abal-abal tapi masih lebih terhormat dari pada menjadi “pelacur”.

Kehidupan Pers nasional sebetulnya sudah berada pada titik nadir. Sejumlah media nasional yang menguasai ruang publik sudah dikuasai orang parpol. Sangat sulit mendapatkan informasi yang benar-benar dapat dipercaya. Pers nyaris tidak bisa bebas menjalankan fungsi sosial kontrolnya.

Saat ini konstituen DPI sebaiknya fokus pada program memperkuat jaringan media. Semakin besar jaringan media DPI maka akan semakin kuat bargaining posisi perusahaan-perusahaan pers lokal. Bersatu akan lebih baik dari pada diam saja.

Perjuangan bersama harus dimulai dari sekarang. Jangan biarkan perusahaan di Jakarta saja yang menikmati belanja iklan nasional.Perputaran uang di daerah dalam bentuk belanja barang produk nasional harusnya balik ke daerah dalam bentuk belanja iklan.

Sehingga perusahaan-perusahaan pers lokal bisa ikut menikmati belanja iklan nasional.Pemerintah Daerah haruslah dibukakan mata bahwa ada ketidak-adilan dalam distribusi belanja iklan nasional. Sebab fakta sesungguhnya adalah masyarakat lokal yang berbelanja tapi perusahaan di Jakarta saja yang menikmati belanja iklan nasional

Babinsa Hambawang Bantu Polri PAM Route ibu Kapolda Kalsel


Berandankrinews.com
Barabai Kalsel.Babinsa Koramil 1002-04/Pantai Hambawang Serda Sunarko membantu pengamanan route kunjungan Ibu Kapolda Kalsel di jalur Simpang Tiga Terminal Pantai Hambawang kecamatan Labuan Amas Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Senin (17/02/2020).

Rombongan ibu Kapolda Kalsel dalam rangka kunjungan kerja ke Tabalong tanjung yang melewati di wilayah hukum Polres Hulu Sungai Tengah.

Disampaikan oleh Plh.Danramil 1002-94/Pantai Hambawang Peltu Henri Murpianto bahwa kegiatan yang dilajukan oleh anggotanya yaitu membantu Polri (anggota Polsek Labuan Amas Selatan) pengamanan route kunjungan Ibu Kapolda Kalsel ini merupakan penjabaran dari penekanan dan arahan Komandan Kodim 1002/Barabai tentang sinergitas TNI Polri dalam berbagai kegiatan,”ungkapnya.

Lebih lanjut Peltu Henri Murpianto menambahkan bahwa para Babinsa kami selalu bersinergis dengan anggota Polri/Bhabinkamtibmas dalam berbagai kegiatan di wilayah,baik dalam kegiatan pengamanan jalur atau route,sosialisasi kamtibmas maupum kegiatan lain yang ada lingkungan masyarakat,”jelasnya.

(pendim1002).

Akibat beritakan Proyek , Asnitha Wartawati Media online Sudutberita.com dianiaya Oleh Oknum pelaksana Proyek

Berandankrinews.com
KOPI, Samosir – Tindak kekerasan terhadap wartawan/ti saat menjalankan tugasnya terjadi lagi.Kejadian naas ini dialami oleh Asnitha Hunterhard Sinaga (32),penduduk Desa Sialanguan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.Sehari-harinya,Asnitha merupakan wartawati media online Sudutberita.com.

Asnitha mendapat perlakuan tindak kekerasan berupa pemukulan dilakukan oleh PN alias Pangki,warga Desa Parsaoran 1,Kecamatan Pangururan. Tindak kekerasan itu dialami korban saat bertemu Pangki di halaman Cafe Permata, Selasa (11/02/2020), sekira pukul 23.37 Wib, di Desa Lumban Pinggol, Pangururan. Berdasarkan penelusuran Team PPWI, didapatkan informasi bahwa pemukulan terhadap wartawan wanita itu ditengarai terkait pemberitaan proyek yang sedang dikerjakan oleh Pangki.

Menurut Asnitha, kejadian bermula saat dirinya bersama awak media lainnya melakukan liputan pekerjaan pengaspalan di Ronggurni Huta yang dikerjakan pada TA. 2019 lalu. Pemberitaan proyek pengaspalan jalan di media online Sudutberita.com tersebut diduga mengusik Pangki sebagai pemilik proyek. Ia kemudian mencari wartawan yang menulis berita tersebut.

Saat bertemu Asnitha di halaman Cafe Permata di Desa Lumban Pinggol itulah Pangki menampar wajah Asnitha. “Setelah Pangki menanyakan nama saya (hodo boru sinaga namambaritahon karejokki?), setelah saya jawab ya, dengan cepat dia menampar wajah saya,” beber Asnitha.

Belum puas atas tamparannya, sambung korban, Pangki kembali melayangkan pukulan ke arah dada Asnitha. “Kemudian Pangki memukul dada (payudara) sebelah kanan saya hingga bengkak,” sambung Asnitha.

Penganiayaan yang dialami Asnitha tidak cukup sampai di situ, Pangki kembali menendang kaki Asnitha hingga memar. “Dia tendang kaki saya hingga memar dan sakit kurasa,” lanjut Asnitha.

Selain melakukan tindak kekerasan fisik, korban juga mendapat ancaman verbal yang dilontarkan Pangki. “Dia mengancam, siapapun media/wartawan yang berani memberitakan proyeknya akan dihabisi,” ungkap Asnitha yang juga sebagai Kepala Biro Sudutberita.com Kabupaten Samosir ini.

Atas tindak penganiayaan yang dialaminya,Asnitha telah melaporkan kasus ini ke Polres Samosir. Laporan korban dengan dengan nomor LP/B-19/II/2020/SMSR/SPKT diterima oleh Briptu May F. Siagian.

Untuk memastikan proses hukum berjalan dengan baik dan benar, Pimpinan Sudutberita.com, Edik Satria mengatakan akan mengawal dan memberikan dukungan kepada Asnitha. “Kami dari manajemen Sudutberita.com akan mengawal proses hukumnya. Kami juga sedang mempersiapkan pendampingan untuk wartawan kami, Asnitha,” ungkap Edik Satria.

Profesi wartawan, kata Edik, adalah mulia sebagai sosial control. Oleh karena itu, wartawan dilindungi oleh undang-undang dalam menjalankan tugasnya. “Kami sangat prihatin atas kejadian yang menimpa anggota kami. Ini pertanda masih ada pengusaha arogan dan main kekerasan,” lanjut Edik.

Untuk itu, Edik berharap Polres Samosir menyelesaikan kasus ini dengan adil sesuai hukum yang berlaku.

(Feri/Red)