Pengacara Kecewa, Hakim Vonis Sattar Bin Tambrin 5 Tahun 6 Bulan Penjara Denda 2 Milyar

NUNUKAN – Kuasa Hukum Sattar Bin Tambrin, Dedi Kamsidi, SH menilai kliennya tidak sepantasnya divonis 5 Tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Nunukan.

“Menyatakan terdakwa Sattar Bin Tambrin bersalah. Menjatuhkan pidana selama 5 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 2 miliar. Bila tidak dibayar diganti 2 bulan kurungan,” ujar Hakim Ketua Herdiyanto Sutantyo SH,MH yang didampingi Nardon Sianturi,SH anggota, dan Bimo Sutro Sejati,SH anggota  Rabu (13/10/2021).

Dedi Kamsidi pun akhirnya mengatakan pikir-pikir kepada majelis hakim, setelah majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap Sattar Bin Tambrin.

“Saya terus terang, kecewa, akan mendiskusikan ini dengan terdakwa Sattar Bin Tambrin dan keluarganya, apakah akan melakukan upaya hukum selanjutya. Kita diberi waktu sepekan untuk menentukan sikap,” kata Kuasa Hukum Sattar Bin Tambrin, Dedi Kamsidi, SH usai sidang vonis di Pengadilan Negeri Nunukan.

Dalam kasus ini, terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah tanpa hak atau melawan hukum menguasai narkotika golongan I bukan tanaman, beratnya melebihi 5 gram. Oleh karenanya, dia dijerat dengan pasal 112 ayat 2 UU RI No. 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Seperti diketahui, Sattar Bin Tambrin  terdakwa kasus narkotika yang pada sidang sebelumnya dituntut 6 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 2.030.000.000 (Dua Milyar Tiga Puluh Juta Rupiah)  Subsidair selama 4 (empat) bulan Penjara didakwa melanggar pasal 112 (2) UU No 35 Tahun 2009 Jo pasal 132 (1) UU  No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

“Tuduhan JPU mengenai adanya pemufakatan jahat antara terdakwa, Sattar Bin Thamrin bersama Yusuf Bin Daeng Matteru dan Heriadi Bin Kosasi, serta Ardiansyah Bin Suriansyah adalah tidak benar berdasarkan fakta di persidangan. Sebelumnya keterangan saksi Yosua dan Iswan selaku Anggota Polri  dalam perkara ini menerangkan bahwa pertama kali menangkap Terdakwa Ardiansyah dan saat Introgasi Ardiansyah mengakui jika sabu tersebut diperoleh dari Terdakwa Yusuf Bin Daeng Matteru,” tutur Dedi.

Begitu juga keterangan Yusuf Bin Daeng Matteru yang berperan selaku pemilik barang haram tersebut yang diakuinya diperoleh dari Anuar (DPO), juga terungkap dalam persidangan bahwa barang haram itu dijual kepada Ardiansyah Bin Suriansyah yang mana terdakwa Sattar tidak mengenal Ardiansyah. Baik Yusuf (pemilik barang) maupun Heriadi Bin Kosasi (penghubung transaksi jual beli) juga mengakui tidak adanya keterlibatan terdakwa Sattar melakukan pengadaan, perencanaan, penawaran, pembayaran, sampai pendistribusian dari awal hingga sabu tersebut berada di tangan Ardiansyah sebagai pembeli.

Selanjutnya, Dedi juga keberatan dengan adanya tambahan pasal 105 Undang-Undang RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Replik Jaksa Penuntut Umum, padahal sebelumnya tidak ada dalam tuntutan JPU dalam persidangan sebelumnya dan Sattar Bin Thamrin hanya didakwa melanggar  pasal 112 (2) UU No 35 Tahun 2009 Jo pasal 132 (1) UU  No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Namun yang bikin Dedi Kamsidi kecewa, Majelis Hakim dinilai kurang mempertimbangkan pengakuan saksi-saksi atau terdakwa dalam kasus lainnya Yusuf Bin Daeng Matteru, Ardiansyah Bin Suriansyah maupun Heriadi Bin Kosasi  di persidangan. Padahal keterangan dari saksi bisa dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Sattar Bin Tambrin

“Jadi seharusnya memang Sattar Bin Tambrin bebas dan dilepaskan. Tapi mungkin majelis hakim ada pendapat lain,” ucapnya.

Menurut Dedi Kamsidi, kliennya seharusnya divonis bebas atau lepas, bukan dijatuhi hukuman pidana. Apalagi vonis yang dijatuhkan sangat berat.

“Lima tahun Enam bulan itu waktu yang lama. Saya masih pikir-pikir dan akan mendiskusikan lagi dengan terdakwa Sattar Bin Tambrin bersama keluarganya agar ada lah upaya supaya Sattar Bin Tambrin mendapatkan hukuman yang sesuai harapan kita,” kata dia.

Meski putusan tersebut lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Sattar Bin Tambrin dengan hukuman penjara selama 6,5 tahun dan denda Rp 2.030.000.000.-. Namun Pengacara Dedi Kamsidi, begitu juga Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hartanto, SH pun masih belum menentukan sikap terkait vonis yang dijatuhkan majelis hakim.

“Kami masih pikir-pikir yang mulia,” ucap keduanya saat ditanya tanggapan atas vonis yang dijatuhkan hakim terhadap Sattar Bin Tambrin.

(Gzb/Adm)

Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Babel Minta Satgas Covid Mengedepankan Pendekatan Humanis

PANGKALPINANG|BerandaNKRInews.com|| PERISTIWA pemukulan yang dilakukan oleh Mardani anggota Satpol PP Goa kiranya dapat menjadi pelajaran bagi para penegak Protokol Kesehatan (Prokes) di seluruh Indonesia.

Seperti ramai diberitakan beberapa waktu yang lalu seorang anggota Satpol PP Gowa, Mardani, memukul pedagang kaki lima yang bersatus suami-istri pemilik sebuah warung kafe yang beralamat di Kelurahan Panciro, Kecamatan Bajeng, Gowa.

Hal itu turut menjadi perhatian pengurus Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Bangka Belitung, Yogi Pranata atas seizin Ketua DPW APKLI Babel, Mangimpal Lt.

Kepada media ia menyampaikan pesan bahwa sejatinya peristiwa itu tidak perlu terjadi jika petugas di lapangan mampu menahan diri.

“APKLI Babel mengecam keras tindakan barbar yang dilakukan oknum Satpol PP di Kabupaten Gowa. Terlebih korbannya adalah seorang wanita,” ungkap Yogi.

“Rakyat mengerti beban kerja para penegak Prokes namun hendaknya pendekakatan yang dilakukan adalah pendekatan humanis. Toh PKL kan sekedar mencari makan. Kalau mereka tak berjualan kan tak ada pemasukan!” Beber Yogi.

Dirinya mewakili APKLI Babel meminta peristiwa di Gowa adalah pelajaran bagi penegak Prokes.

“Ini pelajaran bagi semua pihak. Mari saling mengingatkan. Saling bergandeng tangan. Musuh kita adalah wabah. Sesuatu yang tidak terlihat. Jangan sesekali menunjukkan aksi barbar kepada pelaku ekonomi kecil utamanya PKL. APKLI tidak akan diam!”, pinta Yogi.

Untuk diketahui oknum Satpol PP bernama Mardani yang melakukan pemukulan kepada pasangan suami-istri ketika melalakukan razia PPKM kini sudah ditetapkan sebagai tersangka. (*)

Wartawan: Agus Muslim, SH

#APKLIBabel
#PKL


Karyawan AMPS, Tewas Di Tikam Oleh Suami Rekan Kerjanya

NUNUKAN – “Anwar Laki- laki (52) yang merupakan warga Jalan Manungal Bhakti RT 20, Kelurahan Nunukan Timur, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan- Kaltara, tewas di tikam oleh suami rekan kerjanya pada, Jumat (25/06/2021) sekitar pukul 10.15 Wita.

Berdasarkan LP Nopol: LP/ B/ 146/ VI/ 2021/ SPKT/ POLRES NUNUKAN/ POLDA KALTARA, tgl 25 Juni 2021, Saat kejadian korban sedang berada di tempat kerja, tepatnya di APMS Cahaya Makarano Jl. Ujang Dewa Sedadap, Nunukan Selatan bersama saksi IDA, ALEX, HAMKA, dan GAFAR.

Kapolres Nunukan AKBP. SYaiful Anwar, Sik melaui Kasubag Humas AKP. Muhammad Karyadi, SH mengatakan bahwa, “Sekitar pukul 10.15 Wita, datang pelaku “THAMRIN (45)” mengendarai Sepeda Motor Matic dengan tergesa- gesa memarkir sepeda motornya, lalu turun sembari menghunus sebilah parang dan mendatangi Korban, ketika itu Korban sedang berdiri setengah jongkok di dekat Dispenser Premium”,ujar Karyadi.

“Dari arah belakang, Pelaku langsung membacok Leher belakang Kepala Korban, lalu membacok Kepala belakang Korban, kemudian menusuk pada bagian Perut, menusuk bagian Punggung, sehingga korban langsung terjatuh tidak berdaya. “Melihat korban yang sudah tidak berdaya, pelaku kemudian membuang parang ditangannya lalu pergi dengan mengendarai sepeda motor untuk menyerahkan diri ke Mako Polres Nunukan ”,ucapnya.

Lebih lanjut Karyadi menyampaikan, “Permasalahan berawal dari dugaan hubungan gelap yang dilakukan korban dengan Istri siri pelaku “IDA”. Pelaku dengan IDA menikah siri pada tahun 2017 di Nunukan, kemudian tahun 2019 keduanya berpisah.

“Menurut IDA, hubungan pernikahan siri itu sudah berakhir namun Pelaku tidak menerima. Sejak saat itu sering terjadi percekcokan diantara keduanya, sampai Pelaku mengetahui bahwa IDA memiliki hubungan khusus dengan Korban”,jelasnya.

Emosi pelaku memuncak, pada hari Jum’at tanggal 25 Juni 2021 sekitar pukul 01.00 Wita, Pelaku mendatangi rumah IDA, menurut Pelaku IDA sedang tertidur, dari rumahnya Pelaku membawa Minyak Tanah, Tali Karung Goni dan Korek Api.

“Pelaku membakar tali tersebut dan memasukkan ke dalam rumah IDA melalui celah pintu dapurnya dengan tujuan untuk membakar rumahnya IDA setelah itu Pelaku pergi. Pagi harinya sekitar pukul 09.00 Wita, Pelaku terbangun dari tidurnya dan berniat untuk membunuh Korban karena telah merebut istri sirinya.

“Kemudian Pelaku pergi ke Pasar Yamaker untuk membeli sebilah Parang seharga Rp. 130.000. Parang tersebut lalu pelaku bawa ke tempat kerja Korban dan digunakan menghabisi Korban.

Berdasarkan hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), dari keterangan saksi, keterangan pelaku dan barang bukti (BB) yang ditemukan, maka akan dipersangkakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana jo Pasal 338 KUHP tenang Pembunuhan”,

(Humas Res Nnk/Rdm).

Dedy Sitorus Kecam Penganiayaan WNI Oleh Aparat Malaysia Di Selat Nunukan

Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR – RI ), Ir. Deddy Yevry Hanteru Sitorus menyesalkan arogansi oknum aparat Kerajaan Malaysia yang diduga melakukan tindak penganiayaan terhadap seorang Warga Negara Indonesia (WNI) asal Nunukan.

Menurut Deddy, seberapa besarpun kesalahan seseorang, ia penyiksaan tetap merupakan pelanggaran. Terlebih, ungkap Deddy, hal ini diatur dalam UU No 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,

“Tindakan pihak keamanan Malaysia ini termasuk biadab dan tidak ber-peri-kemanusiaan! Apakah tidak ada cara beradab untuk menyelesaikan masalah seperti ini, apakah tidak ada hukum yang manusiawi untuk persoalan seperti ini selayaknya negara beradab?”, ujarnya, Rabu (23/6)

Seorang warga Negara Indonesia (WNI) asal Nunukan bernama Efendi Putra alias Gohan bin Dudi mengalami tindakan penganiayaan yang diduga dilakukan oleh aparat Malaysia di muara perairan Sungai Ular, Kabupaten Nunukan, pada Jumat (18/06/2021).

Dilansir dari kabar Nunukan, Hj. Refi ibunda Gohan menyatakan keberatannya terhadap dugaan penganiayaan yang menimpa anaknya.

‘’Anakku dikasih bonyok, sampai kritis dia di hospital Tawau, saya tidak terima, saya akan tuntut masalah ini,’’ ujarnya, Selasa (22/6/2021).

Refi menceritakan pertama kali mendapatkan kabar tersebut dari rekannya yang bertugas sebagai perawat  di Hospital Tawau pada Sabtu, (19/06/2021).

Perawat tersebut menghubungi Refi melalui panggilan video dan memperlihatkan kondisi Gohan yang babak belur dan harus menjalani tindakan operasi.

‘’Panik sekali saya waktu itu. Saya tanya dia siapa buat begitu? apakah polis Malaysia? dia mengangguk lemah. Saya tanya lagi sama siapa di speedboat? dia jawab dengan bisikan kalau dia hanya berdua dengan Juma pemilik speedboat, tanpa membawa penumpang,’’ lanjutnya.

Setelah sampai ruang operasi, komunikasi terputus dan sampai hari ini Refi tidak bisa menghubungi anaknya ataupun perawat hospital Tawau yang pertama kali mengabarkan kondisi Gohan.

‘’Yang jelas saya mengutuk kekerasan yang terjadi pada anak saya. Kalaupun dia melewati batas Negara harusnya cukup diusir, bukan dihajar sedemikian rupa. Itu brutal, tidak manusiawi dan saya meminta keadilan,’’ kata Refi lantang.

Refi sudah melakukan sejumlah komunikasi dengan pihak keluarganya yang bekerja di Kerajaan Malaysia, dan berharap bisa mengusut kekerasan yang menimpa anaknya.

Terlebih informasi yang dia dapat dari sejumlah instansi, termasuk dari aparat Malaysia, ada enam kali tembakan yang keluar dalam aksi tersebut.

Deddy Sitorus menegaskan, seharusnya tindak kekerasan tidak boleh terjadi terlebih terhadap seorang WNI yang dilakukan oleh Aparat Negara lain. Untuk itu ia berharap,  pihak Kementerian Luar Negeri RI, Konsulat Jendral di Tawau dan aparat Indonesia yang bertugas di (perairan) perbatasan perlu dimampukan untuk melindungi warga Indonesia.

“Lengkapi mereka dengan peralatan yang memadai, anggaran yang cukup dan keterampilan yang dibutuhkan. Kejadian seperti ini tidak boleh dibiarkan dan jangan sampai terulang di masa depan,” tegasnya,”

Pewarta : Eddy Santry

IJTI Kaltara Desak Polri Ungkap Penembakan Wartawan di Sumatera Utara

KALTARA – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Provinsi Kalimantan Utara mendesak Polri, dalam hal ini Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan Polres Simalungun segera mengungkap kasus pembunuhan Marsal Harahap, dengan mengungkap motif dan dugaan adanya aktor intelektual yang menjadi dalang pada peristiwa penembakan Marsal pada 18 Juni lalu.

Hal ini disampaikan Ketua IJTI Kaltara Usman Coddang kepada media, “sebagai rasa solidaritas sesama wartawan kami mengecam aksi pembunuhan terhadap Mara Salem Harahap.

Apapun alasan yang melatarinya, tindakan kekerasan dan aksi main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum,” tegasnya.

Usman juga meminta Polda Sumut dan Polres Simalungun mengungkap motif dan menangkap pelaku pembunuhan Mara Salem Harahap. 

“Kami meminta pihak Kepolisian untuk mengungkap kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Sumatera Utara. Ketidakpastian hukum dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis menjadi preseden buruk yang merugikan dunia pers, karena tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Kondisi ini juga diduga menjadi penyebab semakin tingginya jumlah dan kualitas kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia,” harapnya. 

Polri harus memberikan jaminan perlindungan dan keamanan terhadap wartawan ketika menjalankan tugas jurnalistik sebagaimana diamanahkan undang-undang (UU), dalam hal ini UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers  Usman meminta Polri untuk bersikap dan bertindak transparan dalam menangani perkara pembunuhan Marsal Harahap. 

“Dalam hal ini, kami mendesak Polri untuk menyiarkan secara resmi ke publik, tentang penyebab kematian Marsal Harahap, untuk menghindari simpang siurnya informasi. Karena informasi yang valid merupakan hak publik. Menjelaskan ke publik terkait luka tembak yang di alami Marsal Harahap.

Ada berapa luka tembak yang mengenai bagian tubuh Marsal Harahap dan ada berapa kali tembakan. Serta, menjelaskan ke publik tentang jenis peluru yang melukai Marsal Harahap dan jenis senjata yang digunakan pelaku,” bebernya. 

Usman pun berharap semua elemen masyarakat mendukung kebebasan pers dan menggunakan mekanisme yang diatur oleh Undang-Undang Pers dalam penyelesaian sengketa pers. 

“Meminta seluruh jurnalis untuk mengedepankan profesionalisme dan mengutamakan keselamatan dalam menjalankan kerya jurnalistik,” pungkasnya.

(***)