Menanti Keberanian Presiden Laksanakan Putusan MK Terkait UU Pers


Jakarta-Berandankrinews.com
Dewan Pers Periode 2022-2025 akan segera berakhir di bulan Mei tahun ini. Lagi-lagi secara sepihak Dewan Pers membentuk Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) Dewan Pers terdiri dari 13 orang tanpa melibatkan seluruh oragnisasi pers di Indonesia.

Dewan Pers bahkan sengaja mengambil alih kewenangan organisasi-organisasi pers dan mengatur sendiri tahapan pemilihan anggota Dewan Pers. Anehnya penjaringan atau rekrutmen anggota Dewan Pers harusnya lewat organisasi pers, tapi Dewan Pers malah menebar flyer digital berisi pengumuman perekrutan calon anggota Dewan Pers ke masyarakat umum.

Padahal pihak yang berhak menentukan keanggotaan Dewan Pers sejatinya adalah organisasi-organisasi pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Mekanisme pemilihan Anggota Dewan Pers telah diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XIX/2021 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konsitusi tegas menyebutkan bahwa Dewan Pers yang ada saat ini merupakan keberlanjutan dari keanggotaan Dewan Pers sebelumnya, bahkan keberlanjutan dari Dewan Pers periode 2000 – 2003. Bahwa sampai dengan tanggal 10 Februari 2020 terdapat 40 organisasi yang ikut dalam pemilihan anggota Dewan Pers pertama, terdiri dari 33 organisasi wartawan dan 7 organisasi perusahaan Pers terjaring 121 nama calon anggota Dewan Pers.

Fakta di atas makin menguatkan bahwa ketika proses awal pemilihan anggota Dewan Pers tahun 2000, Dewan Pers berstatus sudah dibubarkan kemudian dihidupkan kembali oleh para tokoh dan pimpinan organisasi pers, termasuk Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia Lexy Rumengan, Ketua Umum Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia Nasution, dan puluhan pimpinan organisasi pers lainnya, yang berinisitaif melaksanakan persiapan dan pemilihan anggota Dewan Pers pada tahun 2000 lalu.

Sistem pemilihan anggota Dewan Pers saat itu atas prakarsa dan kewenangan pimpinan organisasi-organisasi pers. Organisasi pers lah yang berhak menentukan anggota Dewan Pers. Dewan Pers tidak berhak mengatur siapa saja calon dari organsiasi yang berhak memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers.

Sayangnya, sejarah yang tercatat rapih itu kemudian dibelokan oleh para kakitangan oligarki yang memanfaatkan para elit pers nasional untuk menguasai Dewan Pers.

Tercatat dalam sejarah pula, Dewan Pers sejak kembali dihidupkan pada tahun 2000 oleh para pimpinan organisasi-organisasi pers, ternyata pada prakteknya tidak memiliki kekuatan dan penerimaan di lingkungan pemerintah karena dianggap tidak lagi memiliki legitimasi.

Sehingga pada tahun 2006 lalu, Dewan Pers ‘mengemis’ peran kepada organisasi-organisasi pers. Tercatat 27 orang pimpinan organisasi pers yang hadir dari 34 organisasi pers yang diundang. Pertemuan bersejarah itu melahirkan keputusan bersama yakni Penguatan Dewan Pers, Peraturan Tentang Standar Organisasi Pers, dan peraturan Standar Perusahaan Pers.

Aneh bin ajaib, peraturan yang ditetapkan bersama oleh para pimpinan organisasi pers tersebut malah disalahgunakan oleh Dewan Pers dengan membuat peraturan sendiri tentang organisasi konstituen Dewan Pers yang diatur dalam Statuta Dewan Pers.

Hampir seluruh organisasi-organisasi pers yang berjasa memberi penguatan terhadap peran Dewan Pers tersebut malahan secara sepihak dihilangkan hak memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers.

Penghianatan Dewan Pers dengan mengeluarkan kebijakan sepihak dan hanya mengakui 7 organisasi pers (belakangan sudah 11 organisasi pers) dimulai dengan istilah Organisasi Pers Konstituen Dewan Pers. Hal itu dilakukan berdasarkan Peraturan yang hanya ditentukan sendiri oleh 9 anggota Dewan Pers berjudul Statuta Dewan Pers.

Padahal Keputusan tentang Statuta Dewan Pers yang didalamnya mengatur tentang konstituen organisasi Dewan Pers secara otomatis sudah tidak memiliki kekuatan hukum karena ada putusan MK dalam perkara nomor 38/PUU-XIX/2021.

Artinya keberlakuan peraturan tentang Satuta Dewan Pers tersebut cacat hukum dan tidak bisa mengikat organisasi-organisasi pers karena bukan disusun dan ditentukan oleh organisasi-organisasi pers berbadan hukum.

Di satu sisi, ada pertimbangan hukum majelis hakim MK atas keterangan Presiden Republik Indonesia bahwa Dewan Pers hanyalah fasilitator. Jadi MK menegaskan bahwa Dewan Pers tidak bisa menentukan sendiri isi putusan, karena yang berhak menyusun peraturan pers adalah organisasi-organisasi pers yang difasilitasi oleh Dewan Pers.

Mengacu dari putusan MK atas perkara nomor 38/PUU-XIX/2021 tersebut, maka pemilihan anggota Dewan Pers periode 2025 – 2028 wajib menyertakan 40 organsiasi yang tercatat sampai tahun 2020 ditambah dengan organisasi-organisasi pers berbadan hukum lainnya (lokal dan nasional) karena memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai calon anggota Dewan Pers.

Sebelumnya Dewan Pers dan para gerombolannya mengkalim putusan MK perkara nomor 38/PUU-XIX/2021 tersebut adalah kemenangan Dewan Pers karena MK tidak menerima permohonan dari Pemohon. Padahal pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut sudah sangat sejalan dengan apa yang diharapkan pihak pemohon yakni organisasi-organisasi pers lah yang memiliki domain untuk menyusun peraturan pers.

Masih segar dalam ingatan, salah satu Ketua Umum organisasi konstituen Dewan Pers yang Namanya tidak dapat disebutkan, pernah membeberkan bahwa mekanisme pemilihan anggota Dewan Pers periode 2022 – 2025 lalu sarat rekayasa. Ketika itu, Ia bercerita bahwa para pimpinan organisasi konstituen diundang rapat oleh Dewan Pers untuk agenda yang tidak menyebutkan akan ada pemilihan anggota Dewan Pers.

Anehnya, pada saat rapat berlangsung, agenda rapat justeru digiring menjadi Pemilihan Anggota Dewan Pers sementara yang hadir rapat sebagian bukan ketua umum organisasi atau hanya utusan karena agenda rapat tersebut bukan pemilihan anggota Dewan Pers.

Akibatnya, hasil pemilihan anggota Dewan Pers periode 2022 – 2025 tersebut sempat ditentang dan dipertanyakan oleh organisasi SMSI ke Presiden Republik Indonesia ketika itu masih djabat Joko Widodo.

Berkaca dari hal itu, putusan MK untuk perkara nomor 38/PUU-XIX/2021 seharusnya menjadikan status hukum Dewan Pers sekarang ini berada pada Status Quo atau kehilangan legal standing. Karena SK Presiden yang mengesahkan keanggotaan Dewan Pers periode 2022-2025 hanya diusulkan dan dipilih oleh 11 organisasi pers bukan 40 organisasi pers sebagaimana yang ada dalam putusan MK tersebut.

Beranjak dari kerancuan itu, Dewan Pers lagi-lagi mencoba untuk ‘mencuri’ kewenangan organisasi-organisasi pers yang berbadan hukum Kementerian Hukum RI untuk memilih dan dipilh sebagai Anggota Dewan Pers. Bahkan, saat ini sudah lahir pula puluhan organisasi-organisasi pers berbadan hukum pasca putusan MK untuk perkara nomor 38/PUU-XIX/2021.

Artinya, seluruh organisasi pers tersebut memiliki hak dan kewenangan yang sama sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan diatur dalam UU Pers untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers.

Dewan Pers seharusnya jangan ngotot mengacu pada peraturan Statuta Dewan Pers yang hanya dibuat sepihak oleh 9 orang saja. Dewan Pers harusnya menghormati putusan MK.

Namun demikian, jika pada prakteknya hasil rekayasa pemilihan anggota Dewan Pers periode 2025-2028 oleh Dewan Pers dan para ‘konstituen ilegal’ Dewan Pers tetap dipaksakan, maka Presiden Republik Indonesia Jenderal (Purn) TNI Prabowo Subianto diharapkan berani mengambil sikap tegas.

Presiden Prabowo harus tegas tunduk pada konstitusi sesuai sumpahnya saat pertama kali dilantik sebagai Presiden. Jadi Presiden Prabowo wajib melaksanakan Putusan MK perkara nomor 38/PUU-XIX/2021 untuk menindaklanjuti pemilihan Anggota Dewan Pers agar insan pers tanah air, beserta para pimpinan organsasi pers berbadan hukum dijamin hak-hak konstitusinya dan terbebas dari cengkraman oligarki.

Oligarki yang dimaksud adalah para konglomerat media penyiaran swasta nasional yang menguasai nyaris 90 persen dari total Belanja Iklan Nasional yang mencapai lebih dari 200 triliun rupiah setiap tahun. Para oligarki itu diduga melakukan praktek kartel dan melanggar Undang-Undang Anti Monopoli atau Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Tak heran untuk melanggengkan usaha dan praktek monopoli tersebut, kelompok ini berusaha menguasai Dewan Pers dengan berbagai cara. Akibatnya kepentingan pengembangan dan peningkatan kualitas pers nasional terabaikan.

Kehidupan Perusahaan Pers di Indonesia bertahun-tahun sengaja dimarjinalkan. Perputaran serapan belanja iklan nasional hanya berpusat di Jakarta oleh konglomerasi media yang sebagian besar adalah petinggi Partai Politik.

Dewan Pers membiarkan praktek oligarki dan kartel yang memonopoli perolehan belanja iklan nasional. Media-media lokal tidak satupun memiliki kesempatan untuk menikmati perolehan belanja iklan nasional.

Media-media non mainstream hanya menerima remah-remah dari iklan dari Perusahaan Google ads. Sementara media-media nasional milik oligarki menguasai seluruh total belanja iklan nasional yang berasal dari iklan promosi produk dan jasa mencapai angka fantastis lebih dari 250 triliun rupiah setiap tahun.

Dewan Pers dihuni oleh para kakitangan oligraki yang tidak ingin bisnis monopoli belanja iklan nasionalnya diganggu media-media lokal. Tak heran, Dewan Pers begitu yakin sengaja menebar propaganda negative terhadap Media Online lokal dengan framing Media Abal-Abal.

Menelisik lebih jauh, faktanya masyarakat lokal lah yang berbelanja dan mengeluarkan biaya untuk membeli produk-produk yang diiklankan di media tv swasta nasional. Seharusnya iklan-iklan promosi tersebut ditempatkan di media-media lokal bukan media nasional saja.

Ini menjadi tantangan pemerintah pusat dan daerah agar mau membuat regulasi agar Belanja Iklan Nasional atau promosi iklan nasional itu disalurkan anggarannya ke setiap provinsi, kabupaten dan kota sehingga bisa ada pemasukan daerah dari pajak reklame (sudah ada Perda) atau pajak iklan di Pemerintah Provinsi (belum ada Perda).

Persoalan serius inilah yang harus disadari bersama agar Dewan Pers mendatang harus dihuni oleh murni Masyarakat Pers Indonesia bukan oleh kepentingan orang politik atau tokoh yang tidak pernah mengerti masalah pers dijadikan Anggota Dewan Pers.

Agar urusan belanja iklan nasional yang merupakan sumber pemasukan media dapat diperjuangkan langsung oleh Anggota Dewan Pers yang baru demi menciptakan pemerataan dan peningkatan kesejahteraan dan kualitas pers nasional.

*Urgensi Revisi UU Pers*

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sepertinya sudah usang dan ketinggalan jaman sehingga perlu segera direvisi. Mengingat Undang-Undang Dasar 1945 sudah 4 kali diamandemen namun hingga kini UU Pers belum juga direvisi.

Padahal melihat dari perkembangan penyebaran informasi di era digitalisasi informasi yang terus berkembang, UU Pers memerlukan revisi untuk penyesuaian dengan perkembangan jaman.

Lihat saja, saat ini Dewan Pers sudah mengambil peran sebagai regulator dengan mengambil kewenangan BNSP untuk menerbitkan Lisensi kepada Lembaga Penguji Kompetensi atau LSP. Saat ini Dewan Pers tercatat telah menerbitkan lisensi kepada 24 Lembaga Uji Kompetensi sejak tanggal 9 September 2011 sampai dengan 27 April 2022 untuk pelaksanaan UKW di sektor pers.

Padahal ada aturan perundangan-undangan yang mengatur terkait sertifikasi profesi dan sertifikasi kompetensi. Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengatur bahwa Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi.”

Sementara itu pasal pidana yang diatur dalam UU No.12 tahun 2012 yakni : Pasal 93 : “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

*Kriminalisasi Karya Jurnalistik Mendesak Revisi UU Pers*

Kasus kriminalisasi pers menjadi pintu masuk agar UU Pers segera direvisi. Peristiwa Almarhum Muhammad Yusuf, wartawan Sinar Pagi Baru yang ditemukan tewas dalam tahanan harus menjadi satu atensi nasional. Almarhum dijadikan Tersangka oleh polisi gara-gara Dewan Pers menerbitkan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang menyatakan pihak teradu belum mengikuti UKW dan medianya tidak terverifikasi Dewan Pers sehingga penyelesaian sengketa pers ini dapat diproses di luar undang-undang Pers.

Contoh Kasus lainnya adalah pemberitaan terkait Penggrebekan aparat Polres Gorontalo terhadap seorang wanita bersuami di sebuah kamar bersama pria yang bukan suami. Proses penegakan hukum aparat tersebut diliput dan diberitakan di berbagai media.

Pelaku yang belakangan diketahui menjabat Ketua Asosiasi Kepala Dinas Kominfo se-Indonesia, membuat laporan keberatan ke Dewan Pers atas laporan berita penegakan hukum tersebut sebagai pelangaran dan pencemaran nama baik.

Dewan Pers kemudian membuat PPR yang menyatakan media yang memberitakan peristiwa tersebut menyalahi kode etik jurnalistik dan wajib membuat hak jawab dan menyampaikan permohonan maaf.

Contoh kasus lainnya yakni wartawan Torosidu Lahia memberitakan kasus korupsi seorang Bupati. Torosidu dijadikan tersangka karena aduan di Dewan Pers dengan rekomendasi yang memberi peluang kepada pengadu melakukan proses hukum di luar UU Pers atau UU Pidana.

Toro Sidu Lahia akhirnya sempat dijebloskan ke dalam tahanan. Namun bupati yang diberitakan korupsi ternyata terbukti korupsi dan ditangkap KPK lalu divonis bersalah. Namun sayangnya Toro Sidu Lahia sudah terlanjur sempat dipenjara selama beberapa waktu.

Belum lagi sederet kasus kriminalisasi pers akibat PPR Dewan Pers terus memakan korban. Wartawan diproses pidana hanya karena karya jurnalistiknya dinilai tidak sah karena medianya belum terverifikasi Dewan Pers dan Wartawannya belum UKW.

Deretan peristiwa itu perlu menjadi perhatian serius masyarakat pers Indonesia. Tak heran Dewan Pers Indonesia sebagai tandingan Dewan Pers, sempat muncul melalui momentum bersejarah Musyawarah Besar Pers tahun 2018 dan Kongres Pers pada tahun 2019. Dualisme Dewan Pers ini pun masih bergulir sampai hari ini meski tidak secara frontal.

Kepada Presiden RI Prabowo Subianto, Nasib pers Indonesia kini berada di tanganmu. Akankah Presiden RI berani berpihak pada masyarakat pers dengan menjalankan putusan MK terkait UU Pers, atau justeru tunduk pada para elit pers yang menjadi kakitangan oligarki ? Hanya rumput yang bergoyang bisa menjawab pertanyaan ini. ***

Penulis :
Hence Mandagi / Ketua Umum DPP SPRI

Pramono Anung Berurai Air Mata Usai Tonton Film 1 Kakak 7 Ponakan


Jakarta-Berandankrinews.com
Gubernur Jakarta Terpilih Pramono Anung berurai air mata usai menonton film bertema keluarga, 1 Kakak 7 Ponakan di Bioskop Kemang Village XXI, Lippo Mall Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (12/02/2025). Pramono yang diundang khusus rumah produksi Mandela Pictures, hadir didampingi isteri tercinta Endang Nugrahani dan anak Hanifa Fadhila Pramono.

“Sepanjang film ini saya menangis bersama isteri. Film itu tentang saya. Saya dulu kuliah harus peringkat satu agar bisa sekolahkan kakak saya. Saya menangis persis seperti Moko tadi,” ujar Pramono agak terbata-bata menahan tangis, menggambarkan dirinya sama seperti karaktek utama dalam film, usai menonton bareng bersama Deepak G. Samtani, salah satu produser film 1 Kakak 7 Ponakan dan penonton umum.

Pramono Anung seolah flash back perjuangan hidupnya di masa lalu yang penuh tantangan. Dalam film ini terkandung juga pesan moral yang sangat kuat mengenai Generasi Sandwich atau istilah untuk menyebut orang yang harus menanggung tanggung jawab untuk dua generasi, yaitu generasi di atas dan di bawahnya.

Menariknya ada satu adegan dalam film 1 Kakak 7 Ponakan yang cukup mengesankan Pramono Anung ketika tengah asik menikmati alur cerita film 1 Kakak 7 Ponakan ini. “Orang yang gak enakan ketemu orang yang gak tau diri, itu ada dalam kehidupan sekarang,” ujar Pramono mengutip adegan perbincangan antara pemeran Moko dan pamannya Eka.

Pihak rumah produksi juga menyampaikan apresiasi atas kesediaan Pramono Anung untuk menyempatkan diri memenuhi undangan Nonton Bareng film 1 Kakak 7 Ponakan yang juga turut diproduksi oleh Manoj K. Samtani, Lachman G. Samtani, dan Suryana Paramita.

Acara nonton bareng Film 1 Kakak 7 Ponakan juga dihadiri Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi, General Manager LSP Pers Indonesia Meytha Kalalo, Michael Ratnadwijanti penyelenggara Nobar, Kiki Narendra pemeran Atmo (paman), dan Fatih Unru pemeran Woko dalam film 1 Kakak 7 Ponakan.

Produksi Film ini adalah hasil kolaborasi antara dua rumah produksi ternama, yakni Mandela Pictures dan Cerita Films, yang disutradai oleh Yandy Laurens.

Cerita Film ini diangkat dari karya Arswendo Atmowiloto. Semakin menarik, film ini melibatkan beberapa artis berbakat tanah air yakni Chicco Kurniawan sebagai Moko, Amanda Rawles sebagai Maurin, Maudy Koesnaedi sebagai Bibi, Kiki Narendra sebagai Paman,

Kemudian ada Ringgo Agus Rahman, Freya JKT48, Fatih Unru, Ahmad Nadhif, Kawai Labiba, dan Niken Anjani. (Hen)

UNJ Buka Suara Terkait S3 Rektor UNIMA


Jakarta-Berandankrinews.com
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) akhirnya buka suara terkait isu minor tentang Program Studi Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana UNJ tahun 2013 yang pernah diikuti Joseph Philip Kambey jauh sebelum menjabat Rektor Universitas Negeri Manado.

Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Negeri Jakarta Prof. Dr. Ifan Iskandar. M.Hum turut bersuara menanggapi perbedaan nomenklatur Program Studi yang diterbitkan pada ijazah S3 atas nama Joseph Philip Kambey.

Ia menegaskan, pihaknya perlu memberi tanggapan karena Joseph Philip Kambey pernah kuliah S3 di UNJ.

Menurutnya, persoalan perbedaan nomenklatur Program Studi, bukanlah persoalan serius karena hal itu merupakan masalah nasional sejak tahun 2010 sampai tahun 2020 di hampir seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.

Ia menjelaskan, ketika itu pihak Kementerian Pendidikan Tinggi punya kebijakan untuk mengatur dan menata pelaksanaan program studi termasuk nomenklaturnya agar seragam antar perguruan tinggi.

“Di UNJ juga mengalami masa perubahan nomenklatur di beberapa program studi. Misalnya Program Studi Bahasa yang berubah beberapa kali namun akhirnya kembali ke Program Studi Bahasa,” ungkap Warek I UNJ Irfan Iskandar yang ditemui di ruang kerjanya, di Gedung Rektorat UNJ, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (10/02/2025).

Ia juga menegaskan akan membuat pernyataan resmi UNJ terkait perbedaan nomenklatur Program Studi Manajemen Pendidikan (SDM) Pascasarjana UNJ pada tahun 2013.

Terkait durasi kuliah S3 di UNJ, Irfan menerangkan, ada dua jalur yang berbeda. Untuk mahasiswa S3 jalur umum atau reguler memakan waktu paling lama 3 sampai 6 tahun.

Sementara untuk jalur khusus, lanjut Warek I UNJ, ada persyaratan tekhnis dari pihak rektorat dan wajib diverifikasi. Durasinya menurut Irfan. paling cepat 1,5 sampai 2 tahun lama masa kuliah.

“Jadi semua mahasiswa S3 pasti melewati lama masa pendidikannya tidak kurang dari yang saya jelaskan tadi. Tidak mungkin sudah dinyatakan lulus dari UNJ dan masa pendidikannya 6 bulan,” tegas Warek I UNJ Irfan menanggapi isu di luar yang menyatakan UNJ meluluskan Joseph Philip Kambey hanya berdurasi 6 bulan masa pendidikannya.

Di tempat terpisah, Joseph Philip Kambey yang pernah dikonfirmasi sebelum dirinya dilantik sebagai Rektor Unima, menegaskan pihaknya sudah diklarifikasi secara ketat dan dikonfrontir langsung oleh pihak Kemendikti, termasuk oleh Mendikti langsung.

“Permasalahan tudingan miring dan upaya pihak-pihak yang ingin menjegal saya, sudah selesai. Saya mengikuti proses pendidikan S3 di UNJ dan menyelesaikan seluruh prosedur sampai selesai,” kata Josep Kambey, menjawab pertanyaan wartawan, sebelum dirinya di lantik sebagai Rektor Unima, di Jakarta.

Terkait isu plagiarisme, ungkap Josep, itu ulah oknum yang tanpa ijin mencantumkan namanya dalam satu artikel atau jurnal, dan oknum tersebut sudah membuat permohonan maaf dan pernyataan resmi di berbagai media.

“Saya diseret karena ulah mahasiswa yang tadinya mungkin ingin cari perhatian saya sebagai dekan. Saya tidak tega melaporkannya ke pihak berwajib. Dan memang saya tidak pernah menulis artikel itu. Makanya saya berani buat pernyataan di atas meterai. Di mana plagiatnya? Kecuali saya mengaku sendiri menulisnya,” terang Josep.

Rektor Unima Josep Kambey sendiri tercatat telah menulis sebanyak 133 artikel dan jurnal yang dapat diakses di link : https://scholar.google.co.uk/citations?user=7lEeBOwAAAAJ&hl=en

Dan keabsahan pendidikan S3 Josep Kambey dapat diakses di situs resmu UNJ di link : https://lib.unj.ac.id/tugasakhir/index.php?p=show_detail&id=49804&keywords=.

Saat ini Unima sudah memiliki rektor baru yang sebelumnya sempat dijabat pelaksana tugas dari Kemenristek Dikti sejak terjadi permasalahan Pilrek di tahun 2024. ***

Upaya Tingkatkan Kualitas SDM dan Ajang Silaturahmi, Dhama Wanita Persatuan Kabupaten Nunukan Gelar Rapat Kerja

NUNUKAN- Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kabupaten Nunukan mengelar Rapat Kerja. Kegiatan ini untuk meningkatkan kualitas sumber daya anggota keluarga PNS untuk mencapai kesejahteraan nasional serta mengeratkan silaturahmi DWP Kabupaten Nunukan, yang dilaksanakan di ruang VIP lantai IV Kantor Bupati Nunukan, Sabtu (15/02).

Dalam mengisi kegiatan Rapat kerja DWP Kab Nunukan Pj. Sekda Kab. Nunukan H. Asmar., SE., M.AP sebagai narasumber dengan membawa materi tentang Peran Perempuan Dalam Mencapai Visi Indonesia Emas 2045, yang diikuti oleh pengurus serta anggota DWP Kab. Nunukan.

Ny. Hj. Sri Kustarwati Hanafiah selaku Penasehat DWP Kab. Nunukan memberikan sambutan dan pengarahan bahwa saat ini, kita sedang berada pada masa transisi pemerintahan di Kabupaten Nunukan. Karena tidak lama lagi, akan segera dilantik bupati dan wakil bupati yang baru.

“Sebagai ketua dewan pembina Dharma Wanita Persatuan DWP Kabupaten Nunukan. Saya berpesan supaya seluruh anggota dharma wanita persatuan Kab. Nunukan untuk tetap solid, kompak, dan tidak terlalu hanyut dalam pembahasan pemerintahan yang akan datang. Biarlah itu menjadi konsen dari para pemangku kepentingan yang berkompeten. Jangan sampai kita ikut campur dan mengomentari sesuatu yang berada jauh di luar jangkauan dan kewenangan kita”, ungkapnya

Lanjut disampaikan, sebagai istri dari para Aparatur Sipil Negara, anggota DWP Kabupaten Nunukan harus terus fokus dalam melaksanakan tugas mendukung para suami agar bisa bekerja melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.

“Saat ini Pilkada sudah selesai, maka saya mengajak kepada kita semua untuk kembali bersatu padu, bahu membahu dan bergotong-royong dalam mendukung pemerintahan yang akan datang. Jalin terus komunikasi dan silaturahmi dengan sesama anggota, dan lakukan kegiatan-kegiatan yang bisa memberikan kontribusi terhadap masyarakat”, tambahnya.

Hj. Sri Kustarwati lebih lanjut menyampaikan bahwa pergantian pemerintahan secara otomatis juga akan diikuti oleh pergantian kepengurusan Dharma wanita persatuan di Kab. Nunukan, posisinya sebagai ketua dewan pembina juga akan diganti oleh pejabat yang baru.

“Untuk itu, dalam kesempatan yang sangat baik ini, izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada bapak dan ibu sekalian yang selama ini telah memberikan dukungan terhadap Dharma wanita persatuan Kabupaten Nunukan”, ujarnya.

Hj. Sri Kustarwati sebagai dewan penasehat juga mengatakan, sebagai manusia biasa saya juga menyadari banyak sekali kekurangan dan kesalahan yang pernah dilakukan.

“Baik sebagai pribadi keluarga, maupun dalam kapasitas saya sebagai penasehat maka dari itu dari hati yang terdalam, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya”, tambahnya.

Dalam paparannya, Pj. Sekda H. Asmar menyatakan bahwa untuk mencapai pembangunan yang maksimal serta Visi Indonesia Emas 2045, maka perempuan harus maju dan berperan secara setara dalam pembangunan. Untuk itu perlu perjuangan bersama terutama organisasi perempuan, salah satunya DWP Kabupaten Nunukan

(PROKOMPIM)

Kisah Nyata Beragam Gerobak PKL Berteduh Kehujanan, Ketum APKLI: Demi Sesuap Nasi


Jakarta,_Berandankrinews.con
*Musim panas kepanasan, musim hujan kedinginan. Tapi ku tetap bertahan. Mencari sesuap nasi walau harus jalan kaki. Badan letih ku tak peduli. Mencari nafkah demi untuk keluarga menjadi pegang kaki lima (PKL), cuplikan syair Mars Asosiasi PKL Indonesia karya dr Ali Mahsun ATMO M Biomed, Mawardi dan Sandra Naholo* Dikumandangan pertama kali pada Rakernas APKLI 27 Novemper 2011 di Museum Listrik TMII Jakarta Timur yang dibuka Menkop dan UKM Syarief Hasan. Dihadiri tokoh nasional diantaranya, Letjen TNi Pur. Muthoyib Mantan Kabais, Hayono Isma Mantan Menpora, Priyo Budi Santoso Wakil Ketua DPR RI dan Edi Putra Deputi Menko Perekonomian RI.

Nafas dan ruh Mars tersebut adalah nyata seperti yang dialami beragam PKL Gerobak (aneka kue, es doger, beli barang bekas, susu segar, aneka piagam dan yang lain) nunggu hujan deras berteduh dipelataran Masjid Al Mubarak Kawasan Pondok Gede Kota Bekasi perbatasan Jakarta Timur Minggu 16/2/2025. Hal yang sama juga dialami puluhan juta PKL disemua kawasan ekonomi strategis dan sentra ekonomi rakyat, tutur Ketua Umum Asosiasi PKL Indonesia dr Ali Mahsun ATMO M Biomed yang turut sertai mereka berteduh.

“Demi sesuap nasi, untuk nafkahi keluarga, PKL kepanasan dan kehujanan. Lebih dari itu, ketika tidak jualan 2-3 hari tidak bisa isi perut keluarga. Merekan tahan banting, mandiri, serta tidak pernah neko-neko. Kecuali berharap perlindungan Negara RI dan diberi kelayakan berusaha. Bukan dinistakan kemanusiannya. Bukan di gusur semena–mena. Apalagi digerus dan dijajah pemilik modal besar. Karena apa yang mereka alami juga saya alami sejak kelas 2 MI (SD) hingga dibangku kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, pungkas mantan penjual krupuk, tahu solet, asongan dan sopir angkutan pedesaan jurusan Padangan Mojokerto – Tapen Jombang Jatim