Anjangsana ke Al Falah, PPWI Sumbar Serahkan Bantuan

Berandankrinews.com-Padang, Dalam rangka memaknai Bulan Suci Ramadhan dan Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1440 H/2019M, Pengurus DPD PPWI Sumatera Barat melaksanakan anjangsana ke Panti Asuhan Al Falah Mentawai, Jalan Pasir Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatra Barat, Minggu (02/05/2019). Kegiatan ini yang seharusnya diadakan hari Sabtu (1/6) ba’da Ashar harus ditunda karena hujan lebat yang mengguyur Kota Padang sejak Sabtu siang hingga malam harinya.

Menurut Ketua DPD PPWI Sumbar Syafrizal Buya, kegiatan anjangsana ke Panti Asuhan Al Falah diialihkan ke hari Minggu (2/9) pagi mengingat cuaca yang tidak bersahabat Sabtu sore. Pada Minggu pagi, Pengurus dan Anggota DPD PPWI Sumbar langsung mengunjungi Panti Asuhan Al Falah Memtawai di Parupuak Tabing.

Kunjungan yang diketuai langsung Syafrizal Buya dan didampingi oleh Davit Pelor dan Hendri Payan, Sekretaris DPC PPWI Kabupaten Padang Pariaman, berlangsung lancar sesuai jadwal yang direncanakan. Sesampai di Panti Asuhan Al Falah, rombongan disambut langsung oleh ketua Panti Asuhan Asal Mentawai, Ustazul. Rombongam PPWI kemudian langsung meninjau Panti Asuhan dan bercengkrama bersama pengurus Panti Asuhan Al Falah. 

Menurut Ustazul selaku Ketua Panti Asuhan Al Falah kepada rombongan  pengurus dan anggota PPWI yang hadir  menyatakan di panti ini terdapat 7 orang pengurus, 45 orang anak asuh yang terdiri dari 13 orangg laki- laki dan sisanya 32 orang perempuan. “Dari 45 orang anak asuh, ada yang kuliah dan juga sekolah dari berbagai tingkat,” ungkap Ustazul.

Sementara untuk mengisi kegiatan selama Bulan Suci Ramadhan, para anak panti mulai dari tingkat Sekolah  Menengah Atas (SMA) sampai ke perguruan tinggi melakukan safari Ramadhan ke Mentawai. “Hal ini bertujuan mengembangkan ilmu yang selama ini telah dipelajari di panti,” jelas Ustazul

Karena Panti Asuhan Al Falah tidak setenar panti yang lain dan juga tidak besar sehingga para dermawan dan donator lebih dominan menyumbang ke panti asuhan yang ternama. “Para dermawan dan donatur lebih sering menyumban ke panti-panti besar dan namanya sudah tenar, seperti Panti Asuhan Muhammadiyah,” ujar Ustazul.

Walaupun begitu, keberadaan Panti Asuhan Al Falah tetap saja bisa bertahan dalam kondisi sesulit apapun. “Kalau kita logika, biaya untuk mengurus panti ini kadang-kadang tidak masuk akal. Namun kami tetap berjuang sehingga sampai saat ini panti Asuhan Al Falah sudah 18 tahun, masih tetap ada,” ulas Ustazul.  

Ustazul juga sempat bercerita tentang sejarah pendirian panti asuhan ini “Perjuangan mendirikan panti ini juga berkat perjuangan almarhum Drs. Ibrahim,” katanya.

Dari pengalaman panjang mengurus panti asuhan itu, Ustazul yakin bahwa niat dan usaha yang baik di jalan Allah, pasti banyak berkahnya. “Di sinilah kami yakin, kalau kita menolong Agama Allah maka Allah juga akan mempermudah rezki kita dari segala penjuru,” tambah Ustazul.

Dalam kunjunganya, pengurus dan anggota PPWI Sumbar juga memberikan sumbangan kepada Panti Asuhan Al Falah. Sumbangan ini  langsung diberikan Ketua DPD PPWI Sumbar  Syafrizal Buya yang didampingi Davit Pelor dan Sekretaris DPC Padang Pariaman.

Buya, sapaan Ketua PPWI, juga berharap kegiatan ini dapat terus terlaksana dan menjadi agenda rutin bagi DPD PPWI Sumbar.

Tidak itu saja, Buya juga berharap Para dermawan dan donator bisa membantu Panti Asuhan Alfalah dan menjadi donatur tetap di sana karena Panti Asuhan Al Falah, panti bagi anak- anak mu’alaf dari mentawai. “Bagi para darmawan yang ingin menjadi donatur silahkan hubungi ketua Panti Asuhan Al Falah Ustazul di Nomor HP 081374398225,” ungkap Buya yang juga Pemimpin Redaksi Surat Kabar Wawasan. (MFR/Red)

Peringati Hari Pancasila, Wakil Bupati:Pancasila Jangan Hanya Dijadikan Seremonial Saja, Tapi di Implementasikan dalam Kehidupan

Berandankrinews.com-Wajo, Memperingati Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 2019 yang dilaksanakan di Halaman Kantor Bupati Wajo, Sabtu (1/6/19)
bertepatan dengan 27 Ramadhan. Wakil Bupati Wajo, H. Amran, SE, selaku inspektur upacara, dalam pidatonya menyampaikan seragam dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia yang mengatakatan bahwa pancasila sebagai dasar Negara, ideologi negara dan pandangan hidup bangsa yang digali oleh para pendiri bangsa.

“Pancasila adalah anugrah yang tiada tara dari Tuhan Yang Maha Esa buat bangsa Indonesia. Walaupun kita sebagai bangsa masih belum sempurna berhasil merealisasikan nilai-nilai pancasila, namun tak dapat kita pungkiri eksistensi keindonesiaan baik sebagai bangsa maupun sebagai negara masih dapat bertahan hingga kini,” kata H. Amran, SE.

Tak hanya itu, Pancasila sebagai suatu keyakinan dan pendirian yang asasi harus terus diperjuangkan. Keberagaman kondisi geografis, flora, fauna hingga aspek antropologis dan sosiologis masyarakat hanya dapat dirajut dalam bingkai kebangsaan yang inklusif.

“Proses internalisasi inilah sehingga pancasila harus dilakukan dan diperjuangkan secara terus menerus agar pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dalam kebidupan sehari-hari,” tambahnya.

Dia juga menyampaikan bahwa, peringatan hari kelahiran pancasila 1 Juni bukan sesuatu yang terpisah dari momentum perumusan Piagam Jakarta oleh Panitia kecil pada 22 Juni dan pengesahan Pancasila dalam UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945.

“Tiga peristiwa penting tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan demikian, kita harapkan perdepatan tentang kelahiran Pancasila sudah tidak diperlukan lagi, yang diperlukan saat ini adalah bagaimana kita semua mengamalkan dan mengamankan Pancasila secara simultan dan terus menerus,” ujar Wakil Bupati Wajo mengakhiri sambutan seragam Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila RI, Hariyono.

Diakhir sambutan, Wakil Bupati Wajo berharap peringatan hari lahir Pancasila jangan hanya dijadikan seremonial saja, tapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Upacara kali ini ada yang berbeda dalam pelaksanaannya, dimana selain dari Kesbangpol yang merupakan sebagai leading sektor dari Acara yang merupakan pelaksana, Kodim 1406 Wajo juga mengambil peran dalam pelaksanaan Hari Pancasila ini dan dihadiri para Camat Se Kabupaten Wajo.

Hadir dalam acara ini Wakil Bupati Wajo, Sekretaris Daerah Kabupaten Wajo, Forkopimda Kabupaten Wajo, Pimpinan Perangkat Daerah Kabupaten Wajo beserta staf serta dari Perguruan Tinggi Universitas Puangrimaggalatung dan Pimpinan Perbankan yang ada di Kabupaten Wajo. (Humas Pemkab Wajo).

Bulan Penuh Berkah, Polres Mandailing Natal Berbagi Kasih Kepada Anak Yatim Piatu

Berandankrinews.com- Mandailing Natal, Ketua Bhayangkari Cabang Mandailing Natal Ny Novie Irsan Sinuhaji beserta pengurus bhayangkari dan personil Polres Madina memanfaatkan waktu luang disela-sela kesibukannya untuk melakukan bakti sosial dan berbagi kebahagiaan dengan anak-anak yatim piatu.

Ketua Bhayangkari bersama Pengurus Bhayangkari Polres Madina dengan menyambut gembira kedatangan anak-anak yatim yang berasal dari Desa Mompang Julu Kabupaten Madina .

” Kami memberikan baju-baju kepada anak yatim piatu ini sebagai wujud kepedulian kami sekaligus untuk berbagi kebahagiaan,”ucap Ny Novie, Kamis (30/5/19).

Ketua Cabang Bhayangkari Madina ini pun tak luput meminta kepada anak-anak yatim piatu tersebut supaya mendoakan Polres Mandailing Natal senantiasa mampu melaksanakan tugas dengan baik dan maksimal, khususnya di bulan yang penuh berkah ini, semoga di bulan suci rhomadhon ini semoga Allah subahanahu wata’ala berikan ampunan kepada kita semua dalam menjalankan ibadah puasa dan ibadah lainnya amin ya robbal’alamin.

Kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian Kepolisian Resort Mandailing Natal yang dimpimpin oleh AKBP Irsan Sinuhaji,S.IK, M.H , kami memberikan 70 pasang batu kepada anak anak yatim piatu yang berasal dari Desa Mompna Julu Kabupaten Mandailing Natal dan Apa yang kami berikan mungkin tidak seberapa, namun semoga dapat bermanfaat dan menjadi berkah untuk kita semua .sebut Ny Irsan Sinuhaji .

Turut hadir dalam kegiatan tersebut , Wakil Ketua Bhayangkari Cabang Mandailing Natal Ny Toungku Bosar Pane dan Personil Polres Mandailing Natal. (Irwan N Raju)

Andi Asman Sulaiman: Sebanyak 160 Warga Miskin Sangat Memprihatinkan, Kita Akan Bina dan Pelihara Hingga Mandiri

Berandankrinews.com-Bone, Melalui Program Grebek Gakin yang telah dilaksanakan Kecamatan Barebbo, data keluarga kurang mampu yang diterima oleh camat sebanyak 160 Kepala Keluarga sangat memprihatinkan.

Hal itu dikatakan Camat Barebbo Andi Asman Sulaiman, S. Sos, MM ketika ditemui dikediamannya, Dia menuturkan, Kesedihannya melihat adanya warga miskin diwilayah Kecamatan Barebbo sangat memprihatinkan. Kami berencana kedepannya akan membina, sehingga setiap Kepala Keluarga yang masuk zona tidak mampu atau hidup dibawah garis kemiskinan ini bisa hidup yang sama dengan warga lainnya, mempunyai pekerjaan tetap dan bisa hidup sejahtera.

“Insya Allah 160 keluarga miskin ini, akan kita Bina dan pelihara sampai menuju keluarga mandiri dan bantuan yang kita telah salurkan sebelumnya sebagai langkah awal,” katanya, Kamis (30/5/19).

Aktifis Lsm dan tokoh pemuda Bone Tovan, sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Camat Barebbo. Katanya, memang ada bantuan dari pemerintah semacam PKH, namun bantuan ini terkadang masih salah sasaran. “Seharusnya dengan adanya gebrakan yang dilakukan Camat Barebbo , pemerintah daerah juga harus ada bentuk keprihatinan keadaan warga yang hidup dibawah garis kemiskinan,” Jelasnya kepada Berandankrinews.com.

Sementara itu, salah satu warga Desa Bacu yang menerima bantuan dari Program Grebek Gakin, Andi Muharram (57) menuturkan, perasaan yang sangat senang dan bahagia serta memohonkan doa kepada Camat dan seluruh Stafnya agar senantiasa dimudahkan reskinya. (Irwan N Raju).

Separatisme dalam Demokrasi Indonesia

Oleh: Wilson Lalengke

Berandankrinews.com-Jakarta, Seorang Profesor Mahfud MD beberapa waktu lalu sempat menjadi bulan-bulanan, dibully sana-sini, karena pernyataan beliau yang sedikit pedas bagi sebagian orang. Statement Prof Mahfud soal “hard liner province” atau provinsi garis keras yang menjadi basis kemenangan pasangan calon nomor 02 di Pilpres lalu telah memicu ketegangan sosial-politik di beberapa daerah yang tersentil. Bahkan, Senator DPD RI asal Aceh, Fachrul Razi, bersuara keras dan memaksa sang Profesor yang merupakan ‘ahlinya ahli’ hukum Indonesia itu meminta maaf kepada publik. Dengan rendah hati, Profesor itupun meminta maaf (https://news.detik.com/berita/d-4531490/ucapan-provinsi-garis-keras-disoal-mahfud-md-minta-maaf).

Tidak berhitung bulan, pernyataan Mahfud MD itu kini mewujud. Gaung genderang referendum, yang bagi pengusungnya hakekatnya adalah pernyataan keinginan merdeka, lepas dari keterikatan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mulai ditabuh. Setidaknya, Aceh dengan ide Darul Nanggroe Aceh dan beberapa provinsi di Sumatera dengan ide Republik Andalas Merdeka, telah menjadi wacana yang tiba-tiba menyeruak di ruang baca kita. Pada tingkat tertentu, tentunya fakta itu dapat menjadi bukti pembenar atas apa yang disinyalir mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD akhir April lalu.

Ketika yang menjadi obyek ucapan Profesor Mahfud adalah keterkaitan hard liners dengan paslon nomor 02, maka semestinya pernyataan itu juga mewakili fenomena hard liners province tertentu lainnya dengan paslon nomor 01. Sebab, siapa yang bisa menduga sifat “garis keras” beberapa daerah pendukung paslon nomor 01 tidak bergolak jika junjungannya kalah atau dikalahkan pada Pilpres 17 April 2019 lalu? Sangat terbuka kemungkinan rakyat Sulawesi Utara meminta referendum (baca: merdeka) jika paslonnya dikalahkan. Demikian juga Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Belum lagi “garis keras” kelompok Nahdatul Ulama dengan Banser dan Anshor-nya, yang dapat saja berubah menjadi pembelot NKRI akibat jagoannya gagal. Who knows?

Pertikaian yang berujung ke pemisahan diri menjadi sebuah negeri yang berdaulat di jaman kerajaan di nusantara dan banyak bagian negara lainnya dahulu kala, umumnya dipicu oleh ketidakpuasan sekelompok rakyat dan pimpinan wilayahnya terhadap rajanya. Raja yang menjalankan pemerintahan absolut, otoriter, diktator, dan bahkan semau-pribadinya sendiri, telah menjadi faktor pendorong utama bagi rakyat untuk memperjuangkan kehidupan yang bebas dari pemerintahan raja tersebut. Sayangnya, muara dari hampir semua perjuangan itu adalah memisahkan diri ke dalam suatu negeri merdeka, berdaulat, yang tidak dalam lingkaran pemerintahan di kerajaan awalnya.

Revolusi Perancis (1789–1799) menjadi tonggak sejarah yang merupakan momok menakutkan bagi raja-raja di masa itu, terutama di daratan Eropa. Pemberontakan rakyat Perancis terhadap Raja Louis XVI telah melahirkan sebuah negara Republik Perancis pada Desember 1792. Pemikiran-pemikiran konservatif yang terkait dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan gereja, dihancurkan dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru, yakni kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite). Untuk meredam gejolak serupa terjadi di negara-negara kerajaan lainnya di Eropa, masing-masing raja menyusun strategi pemerintahan mereka sesuai dengan keinginan rakyatnya. Pada poin inilah, ide tentang demokrasi yang diperkenalkan oleh masyarakat Yunani kuno (Athena tahun 508 SM) mendapat tempat terhormat untuk dikaji dan diimplementasikan dalam kehidupan sosial-politik masyarakat modern.

Kota-kota di Yunani kuno yang disebut Polis, menyelenggarakan pemerintahannya dengan sistim demokrasi langsung. Pelibatan rakyat secara langsung dalam pemerintahan dilaksanakan melalui pemilihan umum yang substansinya sama dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai referendum. Dalam sistim demokrasi langsung ala Polis Yunani kuno, rakyat hanya disuguhkan dua alternatif pilihan: “Ya” dan “Tidak”. Contoh, jika pemerintah kota ingin menerapkan aturan atau kebijakan untuk mengeksekusi mati seorang yang diduga penjahat, pemerintah akan mengundang rakyat untuk memberikan suaranya, dengan sebuah pertanyaan: apakah Anda setuju si A dieksekusi mati akibat dugaan kejahatan yang dilakukannya? Rakyat cukup menjawab “Ya” atau “Tidak”.

Pemikiran demokrasi kuno itu diadopsi oleh hampir seluruh negara kerajaan di Eropa untuk menjadi bagian dari sistim pemerintahannya. Ide demokrasi ini selanjutnya berkembang ke dalam bentuknya seperti yang dikenal saat ini, melalui pemilihan umum (pemilu). Sejak berakhirnya perang dunia kedua (1939-1945), sistem pemerintahan demokrasi dipandang sebagai sebuah sistem pemerintahan terbaik bagi sebuah negara. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa setiap negara baru yang lahir pasca 1945, hampir seluruhnya berbentuk pemerintahan republik.

Di Indonesia, awalnya pemilu dilaksanakan hanya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan diberikan mandat memilih presiden dan wakil presiden, juga calon gubernur dan wakil gubernur, hingga seterusnya calon bupati/walikota dan wakilnya. Para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu itu juga akan bertugas menjalankan fungsi-fungsi legislatif lainnya, yakni membuat undang-undang, mengawasi pelaksanaan undang-undang, dan membuat perencanaan anggaran negara. Dalam delapan kali pemilu (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999), rakyat pemilih hanya masuk ke tempat pemungutan suara untuk memilih wakil-wakilnya (anggota DPR dan DPRD).

Sejak pemilu 2004, berdasarkan UUD 1945 yang sudah diamandemen, pemilu juga dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden. Dalam 4 kali pemilu di orde reformasi, Indonesia telah melahirkan 2 presiden dengan latar belakang dan karakter kepemimpinan yang berbeda. Hal ini tentu saja menarik untuk dijadikan bahan perenungan, kajian, dan tulisan. Namun, mari kita kembali ke laptop, sesuai judul tulisan ini.

Hakekatnya, salah satu fungsi sistim pemerintahan demokrasi, baik untuk pemilihan perwakilan rakyat, pemilihan presiden, maupun penyampaian aspirasi melalui mekanisme demokrasi, adalah untuk meredam perpecahan dalam masyarakat sebuah negara berdaulat. Demokrasi dipandang sebagai sebuah sistim pemerintahan yang menyatupadukan rakyat melalui sebuah mekanisme penyaluran aspirasi yang sama, di saat yang sama, dengan pilihan-pilihan dan aturan yang disepakati bersama (egalite). Disamping persamaan, penyampaian aspirasi dilaksanakan secara langsung oleh masing-masing rakyat pemilih dengan kebebasan penuh, tanpa tekanan dan paksaan. Bahkan untuk tidak datang ke tempat pemungutan suarapun alias golput, semua rakyat bebas tanpa ancaman sanksi apapun (liberte).

Suara-suara sumbang bernuansa separatisme yang muncul usai momentum demokrasi dilaksanakan biasanya disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap hasil pelaksanaan demokrasi (baca: pemilu). Sekelompok rakyat pemilih yang kalah akan mengambil sikap skeptis terhadap hasil demokrasi yang dicapai, yang akhirnya memicu sistim berpikir komunalnya untuk lebih memilih sikap denial (penolakan) daripada memberikan endorsement (persetujuan).

Skeptisisme semacam ini umumnya berkembang di negara-negara yang rakyatnya terdiri atas berbagai bangsa. Kekecewaan atas hasil pemilu yang tidak sesuai harapan mayoritas sebuah komunitas dapat menjadi pemicu naiknya adrenalin separatisme yang tumbuh berkembang berbasis kebangsaan di komunitas tersebut. Menilik dari besarnya jumlah pemilih paslon 02 yang kecewa karena kekalahan paslon pilihannya di Provinsi Aceh dan Sumatera Barat, termasuk daerah-daerah lain di sekitarnya, dapat kita maklumi bahwa genetika ke-Aceh-an bangsa Aceh, genetika ke-Minang-an masyarakat Minangkabau, genetika ke-Melayu-an bangsa Melayu, dan sejenisnya, mencuat ke permukaan menampakkan eksistensinya untuk tidak dipandang sebelah mata. Solusi reaktif yang muncul adalah berpisah dari NKRI melalui bahasa “referendum”. Hal serupa juga sangat mungkin terjadi jika paslon nomor 1 kalah, ego kebangsaan Minahasa, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua, dan bahkan Wong Solo dan Wong NU akan bereaksi dan memunculkan wacana beraroma separatisme.

Fenomena separatisme tersebut sesungguhnya kasat mata terjadi pada kasus perpecahan partai-partai politik di Indonesia selama ini. Para kandidat ketua partai bersama pendukungnya yang kalah dalam pemilihan ketua partai, lebih memilih memisahkan diri dari partainya dan mendirikan partai baru. Gerindra, misalnya, lahir setelah Prabowo gagal dalam Konvesi Capres Golkar 2004 dan Partai Nasdem didirikan setelah Surya Paloh digilas kalah oleh Aburizal Bakri saat pemilihan ketua partai Golkar tahun 1999. Termasuk juga, walau tidak persis sama, dengan Megawati yang mendirikan PDI-Perjuangan setelah kalah dalam Kongres PDI di Medan tahun 1996. Kasus serupa juga banyak terjadi di beberapa lembaga dan organisasi masyarakat, seperti Peradi yang pecah menjadi 3 organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia, PWI-Reformasi yang terpisah dari induknya, PWI, dan lain-lain. Sumuanya dipicu oleh kekalahan dalam proses pemilihan pemimpin organisasinya.

Jika ide demokrasi, yang terlahir kembali melalui Revolusi Perancis, dipandang sebagai sebuah sistem pemerintahan yang lebih baik dari sistem lainnya, mengapa hasil pemilu bisa menjadi trigger bagi munculnya ide pemisahan diri di kalangan kelompok yang kalah dalam pemilu? Jawabnya, karena ternyata pemilu kita hanya keras pada ide persamaan (egalite) dan kebebasan (liberte) dalam berdemokrasi, belum radikal pada ide persaudaraan (fraternite) yang harus melekat menyatu pada demokrasi itu sendiri. Mungkin hal ini yang lebih penting untuk diwacanakan oleh Profesor Mahfud MD dan para pemimpin bangsa kedepannya. (*)