BerandankriNews – Konawe
Kriminalisasi warga Pulau Rempang akibat menolak relokasi Proyek Strategis Nasional telah memicu banyak kritikan. Konflik agraria yang akhirnya menetaskan pelanggaran HAM tersebut semakin memperparah posisi petani ditengah himpitan ekonomi dan kebijakan yang pro terhadap investor.
Serikat Tani Nelayan (STN) Konawe adalah salah satu organisasi petani yang menyoroti persoalan konflik agraria yang semakin masif dan menciderai hak asasi warga itu. Pasalnya, berdasarkan data terbaru dari Komnas HAM (2023), telah tercatat setidaknya 623 aduan terkait konflik agraria dalam kurun waktu Januari – Agustus 2023, teranyar adalah kasus Pulau Rempang tersebut.
Tepat dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional (HTN) 24 September 2023, Sejumlah pengurus, anggota dan simpatisan STN Konawe menggelar deklarasi hak asasi petani dan membangun solidaritas political Will.(25/09/23)
“Karena itu kegiatan ini juga kami gelar sebagai wujud penghargaan terhadap hak asasi petani dan secara kolektif mendorong posisi tawar petani dihadapan kekuasaan terlebih setelah semakin tingginya jumlah konflik agraria belakangan ini termasuk yang terbaru kasus di pulau Rempang” terang Jumran, S.IP, Ketua Serikat Tani Nelayan Konawe kepada media ini (24/09/23)
Dalam kesempatan ini, STN Konawe juga mengkritisi kebijakan anggaran ketahanan pangan nasional tahun 2024 yang artinya berlaku hingga ketingkat daerah, tidak terkecuali Kabupaten Konawe. Pasalnya, meski sedikit mengalami kenaikan, anggaran yang dialokasikan pemerintah itu minim jauh dari program peningkatan yang langsung bersentuhan dengan kesejahteraan petani.
Anggaran ketahanan pangan yang dialokasikan sebesar Rp 108,8 triliun atau naik dari tahun 2023 sebesar Rp 104,2 triliun dan mengacu pada Nota Keuangan RAPBN 2024 itu faktanya lebih diprioritaskan untuk peningkatan ketersediaan akses dan stabilisasi harga pangan, peningkatan produksi pangan domestik, dana itu juga digunakan untuk percepatan pengembangan kawasan food estate, serta penguatan cadangan pangan nasional.
“Artinya bahwa tidak ada prioritas langsung untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam kenyataannya yang sejahtera adalah korporasi karena orientasi kebijakan pertanian pemerintah lebih pada investasi” tukasnya lagi.
Senada dengan hal itu, salah satu aktivis buruh dan petani di Sultra, Kasman Hasbur, menegaskan orientasi dan prioritas anggaran pemerintah masih pada sebatas produksi, ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga yang notabene lebih menguntungkan investor.
“Kami menilai kekuasaan hari ini tidak punya rasa kasihan terhadap rakyatnya, termasuk terhadap petani dan buruh, faktanya tak ada political Will pemerintah untuk kesejahteraan petani secara langsung” tegasnya.
Menurut Aktivis yang juga merupakan Pembina KSPN Sultra ini, konflik agraria yang membuat penderitaan petani ini diakibatkan oleh adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebab UU desain para oligarki itu telah melegitimasi kepentingan modal dan investasi untuk merampas tanah milik petani, orang-orang yang bekerja di perdesaan dan masyarakat adat.
Untuk diketahui, Badan Pertanahan Nasional (2015) menyatakan indeks gini rasio penguasaan tanah hanya mencapai 0,72. Artinya, 1% penduduk menguasai 72% tanah di Indonesia. Ketimpangan itu menurut Jumran, diakibatkan oleh dominasi masif penguasaan lahan yang dilakukan oleh perusahan industri dan korporasi multi nasional yang kemudian disebut oligarki.
biro konawe