Bone-Berandankrinews.com
Berhaji tentu menjadi impian bagi umat Islam. Menunaikan Rukun Islam ini tentu menjadi pelengkap dalam berislam. Namun demikian, melengkapi keberislaman kita dengan berhaji memiliki penegasan, Bagi yang mampu.
Penegasan itu bukan hanya memiliki duit. Tetapi tentu harus memiliki tekad, fisik atau kesehatan yang baik juga memiliki kelengkapan administasi yang lengkap. Namun kenyataannya terkadang berkata lain. Banyak calon jamaah haji yang nekad tanpa memikirkan resiko. Rela mengeluarkan duit dengan jalan pintas. Dan tidak jarang, mereka harus pulang gigit jari.
Miris, dan itu nyata. Seperti yang terjadi baru-baru ini, 46 calon Haji Furoda atau non-kuota yang menggunakan visa tidak resmi dan tertahan di Jeddah. Calon Haji Furoda tersebut berangkat tidak melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), serta bukan melalui trevel. Mereka harus dipulangkan ke tanah air.
Hal yang sama juga pernah terjadi di tahun 2016 silam. Sebanyak 177 warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan Imigrasi Filipina karena menggunakan paspor palsu. 17 orang diantaranya berasal dari Kabupaten Bone.
Derai air mata tak terhindarkan. Kecewa yang mendalam. Saya menatap satu persatu jemaah itu saat dipulangkan ke kampung halamannya.
Tak sedikit duit yang disetor. Cukup bervariasi, 135 hingga 150 juta. Mereka menyetor disalah satu travel di Kabupaten Wajo. Mereka pun akhirnya harus angkat koper. Pulang ke kampung halaman tanpa predikat ‘haji’.
***
Kenapa harus Bawakaraeng? Begitulah pertanyaan yang muncul saat mendapat kabar sejumlah warga ke puncak Gunung Bawakaraeng untuk berhaji.
Entah kapan dimulai. Entah kepercayaan berhaji Bawakaraeng itu muncul dan menjadi sebuah jalan pintas dalam berhaji. Entah. Tapi dalam berbagai literasi didapati bahwa menurut kepercayaan masyarakat, gunung Bawakaraeng dengan ketinggian 2.950 mdpl itu mengandung dua makna.
Pertama, sebagai sumber kehidupan karena menyuplai kebutuhan air untuk Gowa, kota Makassar dan sejumlah kabupaten di sekelilingnya.
Kedua, posisinya dalam kepercayaan lokal. Bawakaraeng merupakan bahasa Makassar yang berarti “Mulut atau Sabda Tuhan”. Tempat tersebut dalam sistem kepercayaan Sulsel lama diyakini sebagai tempat bersemayamnya Tu Rie Arana atau To Kammayya Kananna (Yang Maha Berkehendak).
Dalam sistem kepercayaan lama penduduk Sulawesi Selatan pra-Islam, Tu Rie Arana adalah dewa pemelihara kehidupan manusia di muka bumi, sekaligus pemberi kebajikan hingga keburukan.(Menelisik Tradisi dan Ritual “Naik Haji” di Gunung Bawakaraeng. IDN.TIMES)
Berhaji dengan beragam cara. Berhaji tanpa harus mengikuti aturan. Berhaji dengan pemahaman aliran kepercayaan telah mengisi ruang-ruang relegi kita. Padahal berhaji bukanlah menjadi sebuah paksaan, agar keberislaman kita menjadi sah. Ada aturan yang patut diikuti agar kita bisa mendatangi Baitullah.
Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah.
***
Khutbah Jum’at kali ini bertemakan Haji Mabrur. Bahasan yang sangat relevan karena bertepatan dengan musim haji. Khatib dengan santun mengingatkan bahwa jamaah calon haji kita telah menunaikan Rukun Islam yang kelima, naik haji.
Dalam konteks ini, bagi segenap muslim tentu bukanlah rukun paksaan. Karena ditegaskan bahwa Rukun Islam yang kelima adalah Naik Haji bagi yang mampu. Rukun ini menjadi pelengkap setelah Syahadat, Shalat, Zakat dan Puasa.
Khatib juga memberi penekan agar kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji, menjadi Haji yang Mabrur. Seperti penegasan Rasulullah
SAW, Allah SWT telah menjanjikan balasan nyata bagi mereka yang mendapat Mabrur, yakni surga yang abadi: “Umrah ke umrah berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya. Dan, tiada balasan bagi haji mabrur, melainkan surga” (HR Bukhari: 1683, Muslim: 1349).
Dalam berbagai literasi, Mabrur berasal dari bahasa Arab, yaitu “barra-yaburru-barran”, yang artinya taat berbakti. Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia, Mabrur berarti ibadah haji yang diterima pahalanya oleh Allah SWT.
Para alim ulama memiliki beberapa pendapat tentang makna mabrur.
Seperti pendapat ulama ahli tafsir Alquran Profesor Quraish Shihab, definisi haji mabrur bukan sekadar sah perihal pelaksanaan ibadah haji. Namun, makna mabrur adalah ketika jamaah haji telah pulang dari Tanah Suci dan ia tetap menaati janji-janji yang telah ia buat sewaktu di Mekkah untuk menjadi seseorang yang lebih baik.
Penegasan Quraish Shihab menjadi catatan penting bagi kita semua. Tentunya menjadi harapan besar, bahwa begitu banyaknya kaum muslimin telah melakukan Ibadah Haji akan menjadi potensi yang luar biasa menjadi “manusia yang sadar”. Menjadi panutan sebagai hamba Allah yang datang khusus bersumpah dihadapan Ka’bah.
Kita berharap agar para, para haji kita menjadi tauladan bagi kita semua. Karena mereka telah berjuang untuk melengkapi keislamannya, dengan bersusah payah. Mereka telah berjuang untuk memenuhi kelengkapan berhaji, baik secara pinansial maupun dengan kesiapan fisik.
Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan niāmata laka wal mulk laa syarika lak
Artinya: Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.