Kartini Dari Rumpin, 9 Tahun Mengajar Di Kelas Jauh Nan Terpencil Diatas Gunung

RUMPIN – Tanggal 21 April, selalu rutin diperingati sebagai Hari Kartini. Sebuah momentum hari peringatan tentang kisah tentang perjuangan, kesadaran diri serta kebangkitan emansipasi dari para kaum perempuan Indonesia, untuk bisa sejajar dalam segala hal di kehidupan. 

Hal ini diawali oleh Raden Ajeng Kartini yang memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan Indonesia. Semangat itu terus dikobarkan dan diperjuangkan oleh para perempuan hingga saat ini. Salah satunya oleh Eka Trisnawati (30) seorang guru honorer di kelas jauh SDN Cipinang 3, Kampung Kebon Cau, Desa Cipinang, Kecamatan Runpin, Kab. Bogor. 

Sudah sejak 2013 hingga saat ini, wanita yang akrab disapa Eka ini menjadi guru honorer di sekolah tersebut dan menjadi tenaga pengajar di kelas jauh Kampung Kebon Cau yang letaknya berada di atas perbukitan di wilayah area tambang ini. 

9 tahun menjadi guru di daerah pelosok Kabupaten Bogor, dengan jarak tempuh yang jauh, kondisi jalan rusak, menanjak dan berada di ketinggian bukit dengan sisi jalan penuh tebing curam, namun tak membuat ibu dua anak ini takut apalagi surut semangat untuk mengajar.

Ibu dua anak yang tinggal di Kampung Kebon Kelapa, Desa Runpin ini harus siap menempuh perjalanan sejauh hampir 10 kilometer untuk sampai ke lokasi tempat nya mengajar di Kampung Kebon Cau, Desa Cipinang tersebut. Tapi perjalanan melelahkan dan penuh dengan tantangan tersebut, terus dijalaninya setiap hari. 

“Pernah pada tahun – tahun pertama, saya mengalami peristiwa kurang baik. Saat itu saya bawa motor tua non matic, lalu menanjak dan tiba – tiba slip dan tak kuat menanjak. Motor mundur lagi ke arah belakang, saya dan motor terjatuh. Bersyukur tidak jatuh ke sisi kanan yang jurang dalam. Alhamdulillah saya masih selamat,” ungkap Eka mengenang kisah perjalanannya mengajar di pelosok. 

Wanita murah senyum ini menuturkan, saat ini di kampung tersebut, telah ada bangunan gedung kelas jauh yang cukup memadai, karena sebelumnya para siswa hanya bisa belajar di ubin teras/selasar rumah Ketua RT. Begitupun akses jalan ke lokasi sekolah kelas jauh, sekarang ini sudah mulai lebih baik lagi. 

Bersama dua orang guru honorer lainnya, Eka Trisnawati, saat ini mereka mengajar 108 orang siswa/i yang ada di kampung tersebut. Karena sarana pendidikan di sekolah masih terbatas, jadwal belajar para siswa/i dibagi menjadi dua waktu. Kelas 1, 2 dan 3 masuk pagi, selanjutnya kelas 4, 5 dan 6 masuk di siang harinya. 

“Para murid disini selalu semangat untuk masuk sekolah dan belajar. Mereka ingin pintar, meskipun kondisi taraf ekonomi keluarga mereka rata – rata terbatas dan belum begitu mementingkan soal urusan pemdidikan. Disini masih ada pendapat anak perempuan nggak perlu sekolah tinggi – tinggi. Makanya masih sering ada perkawinan di usia dini,” terang Eka. 

Sebagai seorang guru, Eka berharap taraf pendidikan anak – anak dan masyarakat di kampung terpencil tersebut bisa terus meningkat, sehingga dapat membawa perbaikan di segala bidang kehidupan. Ia juga berharap, perkawinan usia dini bisa berkurang agar keluarga yang dibangun bisa lebih sejahtera dan bahagia. 

“Di kampung ini, rata – rata pendidikan hanya tamat SD. Makanya kami para guru bertekad agar generasi selanjutnya bisa sekolah hingga jenjang SMP dan SMA sesuai program wajib belajar 12 tahun,” ucapnya. 

Mengajar di pelosok kampung yang ada di wilayah perbukitan, bagi Eka dan dua rekannya, tentu banyak memiliki cerita suka dan duka. Selain belum diangkat menjadi K2:atau PPPK, mereka harus menghadapi pula kondisi alam yang rentan hujan ditengah sulitnya akses jalan ke lokasi kelas jauh berada. 

“Dukanya ya kalau musim hujan, jalan licin, akses jalan menanjak dan menurun sangat berbahaya. Namun kami harus tetap datang dan mengajar para siswa. Karena itu tugas kewajiban kami, meski hanya sebagai guru honorer dan upah yang seadanya dari BOP sekolah induk,” ungkap Eka. 

Wanita bersuamikan seorang buruh ini menuturkan, namun segala duka itu akan terhapus dengan kebaikan warga atau wali murid yang selalu ramah, baik dan sangat menghormati para guru. Bahkan tidak jarang warga mengajak mereka ikut dalam acara syukuran dan lainnya. 

“Suasana kekeluargaan di sini sangat baik. Bahkan sering juga kami dikirimi buah – buahan saat musim panen tiba. Kami para guru juga sering diajak kumpul dalam kegiatan – kegiatan warga,” Imbuh Eka. 

Sebagai seorang guru honorer, Eka hanya berharap agar pemeruntah dapat lebih memperhatikan nasib dan kesejahteraan hidup dari para guru honorer. Sehingga mereka bisa menjadi tenaga guru tetap atau ASN. Terutana bagi para guru yang telah lama mendedikasikan diri di dunia pendidikan, terlebih di daerah pelosok. 

“Kami para guru honorer ingin terus bisa mengabdikan diri, mencerdaskan anak bangsa, meningkatkan taraf pendidikan. Namun kami juga butuh dukungan dan perhatian dari pemerintah. Agar kami bisa lebih fokus dalam pengabdian,” tikas Eka Trisnawati. 

(***)