Pencemaran Sungai Malinau, Fajar Mentari: Pernyataan Gubernur Kaltara Telah Melukai Para Pemerhati Lingkungan

Tarakan – Pernyataan Gubernur Provinsi Kalimantan Utara Zainal Arifin Paliwang saat acara Penaburan benih ikan dan udang gala sebanyak 250 ribu ekor yang didatangkan oleh PT. Kayan Putra Utama Coal (KPUC) di Sungai Malinau, Kaltara, yang mengharapkan tidak ada lagi tanggapan negatif dari masyarakat, tokoh masyarakat, maupun pejabat menyoal sungai Malinau, dianggap oleh beberapa pihak sebagai upaya pembungkaman terhadap para penyuara kebenaran.

Terlebih dalam kesempatan tersebut, Zainal juga mengatakan kalau beberapa pihak telah mengedarkan informasi yang salah atas kejadian ini dengan memberikan banyak tafsiran yang kurang positif serta kurang pertanggungjawaban.
Ketua Lembaga Nasional Pemantau dan Pemberdayaan Aset Negara (LNPPAN) Kaltara, Fajar Mentari. Menurutnya, pernyataan tersebut terkesan ingin membungkam kritik dengan maksud menghindari polemik berkepanjangan atas kasus ini.

“Ini kan boleh dimaknai sebagai narasi sindiran kepada mereka yang mengkritisi persoalan ini yang boleh jadi benar, atau tidak sepenuhnya salah, atau salah paham, salah persepsi, salah tafsir,” ujarnya kepada awak Media, Senin (26/4). 

Ketua Lembaga Nasional Pemantau dan Pemberdayaan Aset Negara (LNPPAN) Kaltara, Fajar Mentari.

Sebagai kepala rumah tangga Kaltara, menurut pria yang akrab dipanggil FM tersebut, Zainal tentu tidak sepantasnya membangun narasi seperti orang yang sudah kehabisan kata-kata yang lebih elegan dan bijak. Suatu persepsi yang belum tentu benar, tapi menjadi dasar untuk menyindir tanpa alas bijak dan langsung dilepas lontarkan oleh kepala keluarga Kaltara.

FM menilai bahwa pernyataan gubernur tentu akan mencederai perasaan para pemerhati lingkungan dan aktivis lingkungan. Seperti Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup (Lalingka), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), salah satu anggota DPR-RI (Ir. Deddy Sitorus) dan pemerhati lingkungan lainnya. Menurutnya, hal itu sudah menjatuhkan integritas dan kredibilitas mereka.


“Terlepas pandangan mereka benar atau salah, mestinya bentuk kepedulian mereka itu disikapi positif, dihargai, didukung, diapresiasi. Sehingga, jangan perusahaan saja yang boleh dapat apresiasi dong. Atensi atas peran serta mereka dalam menyuarakannya itu kan karena alasan rasa memilikinya, rasa sayangnya, wujud perhatiannya, sikap kepeduliannya, dan bentuk social control. Kalau pun mereka dianggap salah, lalu apakah ketika mereka salah, itu berarti anda benar? atau kalau pendapat anda benar, lalu menjadi arti kalau pendapat mereka itu salah?,” tandasnya

Apalagi, ungkap FM, terkait persoalan pencemaran sungai Malinau, akan jauh lebih baik jika penilaian itu juga hadir dari para pemerhati atau aktivis lingkungan. Sehingga wajar apabila para aktivis pencinta lingkungan merasa janggal dengan penyelesaian kasus tercemarnya sungai akibat limbah PT. KPUC tersebut.

“Sementara Gubernur baru yang belum sampai seratus hari ini, tiba-tiba muncul dengan ending yang romantis, dimana masyarakat tidak menonton alur ceritanya seperti apa, lalu tiba-tiba masyarakat cuma bisa nonton endingnya apresiasi tabur benih doang. Kita tidak tahu alur cerita legal standing uji laboratoriumnya bagaimana, evaluasi dan langkah konkretnya apa, pasal pertanggungjawaban yang dikenakan secara undang-undang yang berlaku itu apa, serta hal-hal yang dianggap penting lainnya,” ucapnya.

Lanjutnya, Gubernur hanya muncul di pemberitaan media pada saat ending romantisnya saja, tetapi diawal-awal polemiknya musibah itu tidak muncul, sementara hal-hal yang di luar daripada prinsip urusan pemerintahan itu justru muncul. Misalnya berita makan di emperan jalan. Dikatakannya, itu tidak ada urusannya dengan pemerintahan, tetapi lebih kepada urusan pribadi.

“Diawal-awal beliau tidak pernah muncul, lalu sekarang kemunculannya yang secara tiba-tiba, beliau secara sepihak sekonyong-konyong mengatakan kalau beberapa pihak telah mengedarkan informasi yang salah atas kejadian ini dengan memberikan banyak tafsiran yang kurang positif serta kurang pertanggungjawaban. Katakanlah walaupun gubernur telah membentuk tim untuk mengurus kasus ini, tapi bukan berarti jangan nongol dulu di pemberitaan saat ada musibah warga, tunggu ada endingnya romantis baru nongol. Di awal-awal warganya kena musibah kan nggak nongol tuh, tapi giliran makan di emperan jalan, malah bisa nongol di media,” tandasnya.

FM mengakui bahwa ia tidak mau mengatakan jika Gubernur Kaltara tidak peduli atas insiden ini tercemarnya sungai Malinau tersebut. Namun kehadiranya pada acara tabur benih, dan atas permintaan PT. KPUC itulah yang menurutnya janggal. FM menegaskan, boleh sepakat dengan apa yang disampaikan Gubernur Kaltara bahwa insiden ini murni di luar rencana manusia, karena kehendak alam, yang dengan kata lain tanpa unsur kesengajaan.

“Namun yang jadi titik masalahnya kan insiden ini bukan pertamakali terjadi. Ini adalah musibah yang sudah beberapakali masuk ke lubang yang sama alias lagi-lagi terulang, tapi sampai sejauh ini kita tidak pernah tahu bagaimana evaluasi dan penegakan hukumnya seperti apa,” ujarnya.

Pencemaran akibat melimpahnya air limbah dari kolam pengolahan perusahaan tambang bukan baru terjadi. Sejak perusahaan tambang batubara beroperasi, masalah pencemaran sudah sering terjadi. Data banyak media telah menujukan bahwa PT. KPUC sudah cukup banyak mendapat catatan merah. Puncaknya pada tahun 2017 saat kasus pencemaran marak terjadi. Pada tahun 2017 lalu sejak Juli sampai September terjadi 15 kali sungai Malinau tercemar oleh limbah tambang PT. KPUC.


Pencemaran sungai oleh limbah tambang dari Tuyak menjadi bencana ekologis terbesar kedua kali setelah terjadi pada tahun 2017 lalu. Kematian habitat air pada sungai Malinau menjadi bukti yang tak terbantahkan. Dia menegaskan, jebolnya kolam limbah milik perusahaan batubara ini sudah terjadi secara berulang sejak tahun 2017. Kondisi tersebut, menurutnya, membuktikan bahwa perusahaan belum memenuhi kaidah-kaidah lingkungan yang tepat. Namun mirisnya, perusahaan tetap melakukan kegiatan seperti biasa tanpa melakukan upaya tindakan antisipasi.

“Kejadian hari ini merupakan potret bagaimana perusahaan tambang tidak mengantisipasi potensi peristiwa itu terulang lagi. Dengan acapkalinya peristiwa ini terulang, menjadi bukti adanya bentuk kejahatan terhadap lingkungan yang disebabkan acak kadutnya pengelolaan tambang di Kalimantan Utara ( Kaltara). Perusahaan tambang telah memperkosa Sumber Daya Alam Kaltara,” jelas FM.

FM menerangkan bahwa itikad baik itu memang harus dihargai, tapi bukan lantas berarti menggugurkan pelanggaran yang terkandung di dalamnya, terlepas itu di luar kesengajaan.

“Sama halnya dengan seorang pengendara mobil menabrak pejalan kaki yang mengakibatkan kematian tanpa unsur kesengajaan. Meskipun si penabrak punya itikad baik untuk bertanggungjawab secara financial, tetapi itu bukan berarti tidak ada kelalaian yang menjadi pelanggarannya. Meskipun ada itikad baik dalam tanggungjawab pembiayaan, namun prosedur hukum atas dampak kelalaian atau pelanggaran tidak boleh serta merta stop begitu saja. Proses penindakan hukum harus tetap mengalir dong seperti sungai,” terangnya menganalogikan.

Menurutnya, tabur benih ikan dan udang sejumlah sekian ratus ribu patut dihargai, meskipun tidak tahu bagaimana cara menghitungnya guna memastikan bahwa benar jumlahnya sekian, benih ikan berapa dan benih udangnya berapa, karena benih yang lebih dari satu jenis dengan jumlah sebanyak itu kan sebelas duabelas dengan menghitung rambut orangtua, yang hitam berapa, dan putih ubannya berapa. Kalau kemudian ada pernyataan bahwa PT. KPUC telah mengolah limbah tambang secara modern dan menggunakan kimia yang ramah lingkungan, buktinya sejak peristiwa itu, makhluk sungainya mati mendadak.

Kalaupun masih bisa dikonsumsi, pertanyaannya, seberapa banyak yang dikonsumsinya, dan bukan berarti tanpa efek samping. Orang minum alkohol (miras) kan juga tidak langsung mabuk, dan efek mabuk atau tidaknya itu kan tergantung seberapa banyak yang diminumnya. Sama halnya dengan makan obat, kalau makannya sedikit, maka dosisnya juga rendah dan belum tanpa efek samping, apalagi kalau makannya banyak, bahkan bisa mati juga kalau kelebihan dosis.

“Unsur pencemaran itu kan bersifat ‘bio-akumulatif’ yang artinya efek yang dimunculkan dari limbah itu bisa terlihat secara jangka panjang,” tutur FM.

FM juga menuturkan, meski pemerintah sudah mengeluarkan sanksi administrasi bernomor 660.5/K.86/2021 sejumlah 6 poin yang dikeluarkan pada Februari lalu kepada perusahaan, namun itu dianggap bukanlah sanksi, melainkan kewajiban perusahaan untuk menyejahterakan masyarakat setempat. “Saya pikir itu bukanlah suatu sanksi, melainkan itu hanya sebuah rekomendasi sebagai bentuk tanggungjawab perusahaan, dimana-mana itu merupakan tanggungjawab sebuah perusahaan untuk masyarakat setempat,“ sebut FM menjelaskan.

Dijelaskannya lebih lanjut, dalam penegakan hukum itu memang sebaiknya mengutamakan penerapan hukum administrasi (ultimum remedium). Mulai dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin dan pencabutan izin. Namun, apabila dalam hal penerapan hukum administrasi tersebut tidak efektif, maka bisa dilanjutkan dengan hukuman pidana atau perdata.

Dirinya mengaku sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Deddy Sitorus bahwa walaupun kita tidak tahu apakah itu sebuah bencana yang tidak terelakkan atau karena adanya kelalaian atau ada unsur kesengajaan, namun mestinya pemerintah bertindak dengan tetap mengacuh pada undang-undang yang sudah mengatur dengan jelas. Jadi, seharusnya itu yang menjadi rujukannya dalam menyikapi kasus ini.

“Terakhir, yang ingin saya sampaikan menyinggung hal ini lebih banyak gambaran-gambaran analogi ya, jadi jangan bawa perasaan, tapi kalau bawa logika itu lebih recommended,” tutupnya