Berandankrinews.com
Oleh: Bahtiar Parenrengi
Keberagaman itu indah. Begitu kata orang bijak.Dan berbeda pendapat adalah rahmat,begitulah kata para penganjur keIlahian.
Kalaulah berbeda pendapat adalah rahmat, mengapa kita harus “bertengkar”? Bukankah dalam hidup dan kehidupan kita mencari rahmat dari Allah Sang Pencipta?
Keberagaman berpendapat dalam konteks “ke-Bone-an”, kita memang diwarisi tetesan gen “pabbicara”. Seorang generasi awal kita,seperti Kajao Laliddong (lamellong) terkenal dengan kecerdikannya, kepintarannya dalam bertutur, berdebat dan berpendapat.
Tak heran, salah seorang penyair besar Indonesia, WS Rendra,menyebut Kajao Laliddong sebagai “bintang cemerlang tanah Ugi.” Pemikiran politik dan konsep ketatanegaraannya dianut dan dijalankan oleh sejumlah kerajaan di Bugis.
Kita pun tak berharap akan turunnya Mata SilompoE,To Manurung.Karena kita tak saling bermusuhan untuk berebut kekuasaan.
Tak seperti zaman lampau, dimana kelompok yang kuat menguasai kelompok yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya.Keadaan yang demikian itu, dalam Bahasa Bugis disebut SIANRE BALE (saling memakan bagaikan ikan). Tidak ada lagi adat istiadat,apalagi norma-norma hukum yang dapat melindungi yang lemah. Kehidupan manusia saat itu tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa satu sama lain.
Ya, kita hanya mempertemukan keberagaman pendapat kita, karena kita memang pewaris Kajao Laliddong.
Dia diperkirakan sejaman dengan filsuf politik Italia, Nicolo Machiavelli. Perbedaannya, Machiavelli mengabaikan etika atau moral dalam pertarungan politik, tetapi Kajao Laliddong justru menganjurkan agar penguasa lebih jujur dan bijaksana.
Keberagaman pendapat, seperti keberadaan bioskop, pembangunan gedung perkantoran, jalan dan berbagai hal lainnya, termasuk logo Hari Jadi Bone yang ke 690 Tahun tentunya membuat kita semakin dewasa untuk berpendapat.
Bentuk keberagaman berpendapat dapat dilihat dalam aksi penyampaikan aspirasi tentang keberadaan bioskop yang katanya membuat dampak pada perumahan sekitar.
Demikian halnya dengan pembangunan gedung perkantoran yang bertingkat sepuluh, untuk dilakukam penundaan karena dianggap belum waktunya. Kita pun melihat aksi penyampaian aspirasi yang berujung digelarnya Rapat Dengan Pendapat Umum.
HJB pun juga menjadi bahan diskusi yang mengasyikkan. Dan cuitan-cuitan jelang HJB nampaknya terus bergulir. Banyak cuitan untuk memeriahkannya dengan berbagai kegiatan. Seperti sepeda santai, pameran, penyerahan
“Kawali mangkau patappulo panre”, yang melibatkan 40 panre bessi.
Hal lainnya yang cukup menyita perhatian, adanya desakan untuk digelarnya lomba desain logo HJB. karena sejak adanya logo yang nongol di web Pemda Bone, telah memantik tanggapan beragam.
Berbagai pendapat, baik kritikan dan masukan berselancar di media sosial dan dunia nyata. Komentar pedas dan adem terus mengalir hingga ke bilik-bilik hand phone.
Masukan untuk berhari jadi Bone dari berbagai elemen masyarakat tentunya menjadi catatan, bahwa HJB yang ke 690 tahun memelekkan mata, bahwa warga telah menampakkan partisipasinya. Warga telah merasa bertanggung jawab untuk memaknai hari jadi kampung halamannya. Artinya, warga ogah untuk disuguhi sesuatu begitu saja.
Itulah wujud kesadaran dan partisipasi warga Bone, sehingga merasa memiliki daerahnya, BONE KITA SEMUA.
Dalam umur Bone yang ke 690 Tahun, tentunya kita menaruh harapan yang baik. Harapan agar Bone yang Mandiri, Berdaya saing dan Sejahtera, tentunya diridhoi Allah SWT.
Dalam berbagai literasi didapati berbagai tafsiran tentang makna angka 6,9 dan 0.
Seperti, Angka 6 diasosiasikan dengan ‘indera keenam’, karena menurut budaya China, pikiran termasuk ke dalam indera keenam. Angka 6 juga merupakan angka terbesar dalam dadu. Ada yang mengatakan “double six will make you happy” atau angka 6 yang berlipat ganda akan membuat Anda bahagia.
Angka 9, dalam sejarah China, diasosiasikan dengan kaisar China yang pada saat itu sering mengenakan jubah dengan 9 naga. Angka 9 terdengar seperti “keabadian” dan dianggap angka keberuntungan.
Tafsiran lain didapati pula, “Bila diumpamakan lingkaran dalam angka 6 dan angka 9 adalah akal dan pikiran manusia, maka pada angka 9, pikiran dijadikan pengendali utama atas diri orang tersebut (pengendali dalam menjalani kehidupan).
Tetapi pada angka 6, akal dan pikiran manusia diletakkan di paling bawah (nafsu yang mengendalikan pikiran, bukan pikiran yang mengendalikan nafsu).
sementara angka Nol (0) adalah lambang kenyataan dari adanya ketiadaan /kegaiban.
Dalam Literasi Islam, Allah menyatakan bahwa manusia yang berupa angka nol, perlu kekuatan Allah untuk menjadi lebih dari nol atau perlu kehendak Allah untuk menjadi kurang dari nol.
Manusia yang nol itu perlu tambahan kekuatan dari Allah agar bisa lebih dari nol. Bahwa ketika ia bergerak, berjalan, meloncat, berpikir dan segala aktifitas lainnya, baik aktifitas organ-organ di dalam tubuh yang tidak tampak maupun aktifitas organ-organ di luar tubuh yang terlihat.Semua aktifitas tersebut merupakan atas kekuatan dan kehendak Allah SWT.
Ini memberi peringatan kepada manusia ketika ia telah berjaya, seperti memiliki karir sukses, memiliki harta yang berlimpah, memiliki jabatan, memiliki kedudukan yang tinggi dan atau memiliki apa saja.
Manusia tersebut harus ingat dan jangan lupa bahwa ia asalnya adalah angka nol. Allah lah yang berperan serta sebagai Zat Penambah terhadap sukses-sukses tersebut.
Untuk itulah kita perlu berbesar hati, ketika mendapat kritikan atau masukan. Kita tak perlu berada dalam kesombongan, larut dalam keegoan dalam mempertahankan pendapat atau karya. Kita perlu bersyukur karena kita bisa bersama-sama berbuat.Dan itulah bentuk keberagaman dalam bingkai kebhinekaan, berbeda tapi tetap satu. itulah Keberagaman tak Melukai Hati