Nunukan – Habisnya blanglo e – Kartu Tanda Penduduk yang menyebabkan masyarakat tak bisa mendapatkan kartu identitasnya, menjadi perhatian banyak pihak. Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) Badan Pimpinan Kabupaten Nunukan menilai, hal tersebut seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Pusat atas pemenuhan hak atas warga negaranya.
” Mendapatkan identitas itu bukan kewajiban tapi hak yang dimilki oleh setiap warg negara Indonesia. Sedangkan diaukuinya seseorang sebagai warga negara itu karena mempunyai identitas,” ujar Ketua BPk Almisbat Nunukan Eddy Santry, Rabu (30/10/2019).
Lebih lanjut Eddy mengungkapkan bahwa selain hak azasi, memiliki kartu identitas (KTP) jua sudah diatur dalam undang – undang. Eddy menuturkan, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Desember 2006 sagat jelas menyatakan bahwa kewajiban Pemerintah dalam memberikan identitas warganya
Diketahui, dalam Pasal 1 angka 14 undang-undang ini, pengertian KTP adalah “identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Eddy juga meminta Pemerintah terutama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar tidak mempersamakan kondisi Nunukan dengan daerah lain apalagi di Jawa. Nunukan, ungkap Eddy, adalah sebuah Kabupaten yang masyarakatnya tingal secara terpisah – pisah dalam berbagai wilayah dengan berbagai macam kekurangan akses trasnsportasi.
“Kalau di Jawa, akses yang dimiliki masyarakat begitu mudah. Tapi pernah kah para Pejabat Pemerintah Pusat menengok masyarakat Krayan atau Lumbis Ogong?,” tandasnya
Eddy mencontohkan, warga Nunukan yang tinggal di Lumbis Ogong apabila akan mendatangi Kota Nunukan harus menyiapkan fisik karena jauhnya perjalanan yang hanya dapat ditempuh lewat sungai.
“Selain itu, mereka juga harus mempunyai ongkos yang tidak sedikit,” kata Eddy.
Ongkos yang harus dikeluarkan warga Lumbis Ogong untuk pergi kei Kota Nunukan, ungkap Eddy, mencapai Rp. 6 juta – Rp. 8 juta. Memurutnya, untuk mencapai Mensalong yang merupakan kota terdekat, mereka harus mengunakan perahu karena akses jalan darat belum tersambung. Kalau mereka tak mempunyai perahu sendiri maka terpaksa menyewanya hingga Rp. 5 juta.
Setalah sampai Mensalong, mereka harus memyambung perjalanan dengan membayar Rp. 150 ribu – Rp. 200 ribu ke Sebuku. Setelah sampai Sebuku, mereka harus menempuh lagi perjalanan ke Kota Nunukan melewati jalur sungai dengan membayar ongkos speet dengan kisaran Rp. 230- Rp. 300 ribu.
“Setelah menempuh perjalanan yang lama dan mengeluarkan ongkos yang tak sedikit hanya untuk mendapatkan KTP tersebut, lantas mereka disuguhi jawaban blangko e -KTP habis, bagaimana perasaanya?,” tandas Eddy.
Ketika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan sudah mengupayakan bergai cara dem memutus rentang kendali pelayanan publik melalui jemput bola’ pembuatan KTP, seharusnya Pemerintah Pusat sigap dan tak cenderung abai. Eddy mengingatkan, persoalan warga di Pedalaman yang hingga saat ini kurang mendapat perhatian dari Pemerintah jangan sampai menjadi bola api didalam sekam yang dapat memicu konflik akibat kecemburuan sosial.
“Kalau masalah kecemburuan sosial, saya kira saudara kita di Pedalaman sudah kenyang karena ketimpangan dalam pembangunan. Hanya karena kedewasaan fikiran mereka saja yang membuat mereka sabar,” pungkas. Eddy