Dalam Sistem Demokrasi, Berkarirnya Keluarga H Hafid Dalam Dunia Politik Bukan Sebuah Dinasti

Keterangan foto: Rapat Paripurna  Pengangkatan Pimpinan DPRD Nunukan

 

Dilantiknya Hajjah Rachma Leppa sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Nunukan periode 2019 – 2024 telah mengantar peristiwa tersebut sebagai bahan pembicaraan publik. Banyak yang menganggap hal tersebut secara positif, namun tak sedikit pula yang menganggap telah tercipta sebuah dinasti politik oleh keluarga H Abdul Hafid.

Saya justru melihat bahwa pada saat ini keluarga H Abdul Hafid telah berhasil membentuk sistem politik kolegial. Pasalnya, ketika eksekutif dan legislatif mencapai kesepakatan, itulah puncak dari sebuah politik.

Tak bisa dipungkiri, selama ini pengesahan Anggaran Pedapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Nunukan hampir selalu molor akibat ketidaksepakatan antara DPRD dengan Pemerintah Kabupaten untuk poin -poin tertentu dari Rencana Anggaran yang mesti di sahkan.

Mau atau tak mau, ketidak singkronan eksekutif dengan legislatif pada saat tersebut, akan membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat. Kegelisahan ekonomi juga dipastikan akan merebak dan ahirnya tercipta pula kegerahan secara emosional dengan saling menyalahkan.

Dilantiknya Hajjah Racma Leppa sebagai Ketua DPRD tentu akan membawa perubahan terutama terkait pengesahan APBD tersebut. Sebagaimana kita tahu, lobi – lobi dari eksekutif kepada legislatif maupun sebaliknya, bukan hal yang asing untuk menentukan keputusan. Kedekatan emosional sering menjadi alasan bagi kedua belah pihak untuk saling melobi guna menentukan kesepakatan.

Dari hal tersebut, kedepan alotnya pengesahan APBD tak akan terjadi atau minimal dapat di perpendek. Hal tersebut karena Hajjah Racma Leppa pasti akan menempatkan diri sebagai peyambung aspirasi legislatif kepada eksekutif karena secara emosional pemegang kebijakan eksekutif yang tengah dihadapinya Asmin Laura yang tak lain adalah putri kandungnya sendiri.

Masyarakat menurut saya, juga sangat wajar apabila menghawatirkan akan ada kesepakatan kedua belah pihak yang hanya menguntungkan kepentingan pribadi maupun kelompok disekitar eksekutif dan legislatif itu sendiri. Namun hendaknya kita juga harus tahu bahwa saat ini berbagi lembaga pengawasan publik siap memantau dan mengawasi dari kebijakan yang sedang maupun dihasilkan oleh Pemerintah.

Apakah Keluarga H Hafid Sedang Membangun Dinasti Politik ?

Saya tertarik untuk menjadikan kalimat tersebut untuk menanggapi ungkapan ditengah masyarakat bahwa keluarga H Hafid sedang membangun dinasti politik. Tanpa tendensi apapun, saya mengatakan bahwa tidak akan ada dinasti politik dalam sistem demokrasi. Dalam sistem pemerintahan yang perwakilanya dipilh langsung oleh rakyat, sepertinya anggapan dinasti politik tak kan pernah terjadi. Menurut saya, dinasti politik hanya akan terjadi dalam sistem aklamasi.

Pun apabila hal tersebut terjadi, tentu kita tak boleh menyalahkan salah satu pihak begitu saja karena dalam pemilu, masyarakat telah diberi pilihan dan mereka juga yang menentukan. Menghakimi seseorang termasuk Hajjah Rachma Leppa sebagai penyempurna dinasti politik di perbatasan, juga merupakan Penzaliman kepada yang bersangkutan. Karena selain tak menabrak undang – undang, terpilihnya Hajjah Rachma Leppa sebagai anggota DPRD juga telah melalui proses yang sama dengan yang dilakukan kandidat lain saat Pemilu.

Menghakimi keluarga H Hafid sebagai Dinasti Politik, menurut saya justru sama saja telah mementang undang undang atas hak dasar warga negara. Sejak lahirnya NKRI tahun 1945, negara telah menjunjung tinggi pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM). Sikap tersebut nampak dari Pancasila dan UUD 1945, yang memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM warga negara. Sehingga pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau penjaminan terhadap HAM dan hak-hak warga Negara (citizen’s rights) atau hak-hak constitusional warga Negara (the citizen’s constitusional rights) dapat terlaksana.

Demikian juga tentang hak memilih dan dipilih. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar(basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Ketentuan mengenai ini, diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD 1945. Perumusan sejumlah pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskirminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan. Ketentuan UUD 1945 di atas mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia.

Sementara hak dipilih secara tersurat diatur dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3). Pengaturan ini menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, khusunya dalam keterlibatan pemerintahan untuk dipilih dalam event pesta demokrasi yang meliputi Pemilu, Pilpres dan Pilkada.

Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut ( tak terkecuali keluarga H Hafid), merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga negara. Kita harus tahu, menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”.

Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU ini, dinyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.

Sehingga saya berkesimpulan, bahwa apa yang dilakukan keluarga H Hafid bukan sebuah dinasti politik. Saya justru menilai, dilantiknya Hajjah Racma Leppa sebagai akan menjadi angin segar tercipatanya kolegial yang akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat Perbatasan.

Penulis : Eddy Santry, Ketua Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (Almisbat) Cabang Nunukan.