*Sebuah Harapan di tengah Pandemi Untuk BONE*








Bone-berandankrinews.com
Waktu saya kecil, di kota Watampone, pohon2 asam berderet berdiri kokoh di sepanjang jalan menuju Makassar (jalan tengah) sampai di batas kota, juga jalan yang menuju Kabupaten Wajo dan jalan yang menuju ke Kabupaten Sinjai, dan sebagian besar menjulang megah di tengah kota.

Pohon pohon asam ini ditanam rapi dengan memperhitungkan jarak artistik. Saya tidak tau/belum menemukan data sejarah kapan pohon2 asam ini di tanam dan siapa yang menanamnya. Pohon2 asam ini mengirimkan pesan kepada kita betapa orang-Orang dulu sangat sadar akan lingkungan yang hijau untuk menjaga keseimbangan alam.

Menurut para ahli, salah satu dari tiga tantangan besar umat manusia di planet biru kecil ini yang sekarang sudah di depan mata adalah keruntuhan ekologi. Dua lainnya adalah, senjata nuklir dan distrupsi infotek dan biotek.

Pohon-pohon asam ini sudah ada yang dimakan usia atau ditebang untuk kepentingan pelebaran jalan.Tapi kita menyaksikan nyaris tidak ada peremajaan untuk hal ini. Mungkin dengan jenis pohon pelindung lainnya.

Pernah ada Bupati di Bone mencoba untuk melakukan penghijauan di kota, tapi kurang konsepsional – mungkin tidak direncanakan baik dengan memperhitungkan keasriannya. Itu pun hanya di titik-titik tertentu. Setelah Bupati ini, kita menyaksikan penerus penerusnya sangat kecil kepeduliannya soal lingkungan hijau (kecuali yang di taman bunga itu saja yang direnovasi terus).

Saya pernah menyampaikan ke Wabup bahwa Watampone perlu gerakan penghijauan kota dengan menanam sejuta pohon.Tekhnisnya bisa dilakukan oleh Pemda secara bertahap atau menggerakkan swadaya/partisipasi masyarakat.”Kalau orang2 dulu bisa menanam pohon asam dengan indah, kok, sekarang gak bisa, padahal Bone sekarang jauh lebih baik dari segi ekonomi dan iptek”, tegas saya ke beliau.

Foto 1: barisan pohon Asam Yang tersusun dan tertata Rapi
Foto 2: lokasi ini saya foto di wilayah Pompanua/Ajangngale. Juga tiga tahun lalu.Sangat indah. Sepertinya mau jadi danau.Jika di tata oleh Pemda secara bertahap atau bekerjasama dengan swasta, lokasi ini bisa jadi wisata air dan kuliner dengan konsumen terdekatnya masyarakat Bone dan Wajo. Ini sekaligus menghidupkan ekonomi rakyat – UMKM.

Foto 3: pelabuhan BajoE. Di sini juga bisa dihidupkan usaha kuliner seafood. Kalau di dalam pelabuhannya gak bisa menurut aturan, di diluarnya yang berada di sepanjang bibir pantai bisa di tata dengan menggunakan perspektif lingkungan hijau asri.

Sebagai catatan, saya melihat dari dulu kota BajoE jorok, gersang, tidak hijau, dengan penataan kotanya yang amburadul.

Foto 4: Branjangan tempat dimana saya tumbuh besar. Sebuah bagian yang dulunya merupakan pinggiran dari kota Watampone dengan sungai (sungai buatan: irigasi) yang meluap hijau, hamparan sawahnya sejauh mata memandang, dan hutan hujannya yang membisu dalam seratus tahun kesunyian.

Kini, Branjangan telah tumbuh pesat di tahun 80 an dengan berdirinya pasar sentral, bangunan2 Ruko, dan rumah2 penduduk yang banyak itu.

Tapi, pertumbuhan kota ini tidak dirancang dalam perspektif lingkungan hijau dan asri.

Sekarang kita menemukan Branjangan yang kotor dengan sungainya yang mulai mengering dan hiruk pikuk tidak karuan pada malam hari serta tanpa penghijauan yang terencana.

Tentu semua ini hanya bisa dilakukan sebelum dan sesudah pandemi coronavirus bisa diatasi penularannya. Sebuah harapan yang saya sendiri tidak tau kapan semua ini bisa menjadi kenyataan.

Penulis
Asmar Oemar Saleh SH