Mengenang Sejarah Terbentuknya BIRA Atau Yang Dikenal Karaeng Loe Ri Bira

Makassar – Kisah sejarah daerah ini diawali dengan kedatangan seorang Tomanurung yang datang melalui sebuah pohon keladi raksasa yang dalam Bahasa setempat disebut Pacco “Balira” dan kemudian Tomanurung tersebut digelar Manurunga ri Bira. Diperkirakan terjadi sekitar akhir Abad XII. 

Kedatangannya lalu disambut gembira oleh masyarakat asli setempat yang saat itu dipimpin oleh seorang Ketua Kaum yang digelar Tolaki.

Manurunga ri Bira, lalu memperistrikan putri Tolaki dan menurunkan dua orang putera yaitu :

  1. Batara Bira
  2. Batara Bulu

Batara Bira sebagai putera sulung menggantikan kedudukan Manurunga ri Bira. Dari perkawinannya dengan Karaeng Beroanging menurunkan 7 orang anak, masing-masing 6 putera dan seorang puteri, yaitu  masing-masing

  1. Karaeng LoE ri Bira, Karaeng Bira I
  2. Karaeng LoE ri Bentang, Karaeng Sudiang I
  3. Karaeng LoE ri Katingan
  4. Karaeng LoE ri Karampuang
  5. Karaeng LoE ri Barasa
  6. Karaeng LoE ri BululoE
  7. Karaeng Nipakocci ri Pao-pao

Karaeng LoE ri Bira akhirnya menggantikan ayahandanya Batara Bira sebagai Raja Bira dan adiknya Karaeng LoE ri Bentang mendirikan Kerajaan Bentang yang kemudian berubah nama menjadi Sudiang  sekaligus sebagai Raja Bentang (Sudiang) yang pertama.

Di awal sudah kami tuliskan bahwa Bira berasal dari nama pohon talas/keladi raksasa atau dalam bahasa Makassar disebut “Pacco Balira”.   

Diambil untuk menjadi nama kerajaan ini, karena   Manurunga ri Bira, datang secara misterius dan ditemukan oleh masyarakat setempat  sedang duduk di atas selembar daun talas (keladi) beralaskan selembar cindai (bendera) bergambar harimau putih.

Dari kejadian itu akhirnya disebutkan bahwa nama daerah tersebut adalah BIRA  mengambil dari nama jenis pohon talas tempat kedatangan Tomanurung, yaitu Balira yang kemudian berubah bunyi menjadi Bira.

Bendera bergambar harimau yang menjadi alas Tomanurung di atas daun talas itu lalu menjadi  “Kalompoang” (simbol kebesaran) Kerajaan Bira yang digelar  “Macang Keboka”.

Bendera “Macang Keboka” tersebut oleh Karaeng LoE ri Bira diserahkan kepada Karaeng LoE ri Sero, Raja Tallo I ketika Raja Bira menyatakan perhambaannya di bawah kekuasaan Tallo sekaligus menempatkan kerajaannya sebagai bagian dari Kerajaan Tallo dan kemudian mengundurkan diri dan memegang jabatan sebagai Dampang ParangloE di bawah kekuasaan Tallo.

Di  Kerajaan Bira lah Dato ri Bandang pertama kali tiba yaitu di suatu pelabuhan yang disebut “Turungang Berasa” dan oleh Raja Bira yang ketika itu bernama Baso Daeng Pabeta (Raja Bira VIII) mengantarkannya menemui  I Mallingkaan Daeng Mannyonri Raja Tallo untuk menyampaikan missi kedatangannya.

Sudiang berdiri sekitar abad XIII dengan nama Bentang, karena itulah awalnya raja yang memerintah Sudiang bergelar Karaeng LoE ri Bentang,  putera Batara Bira. .

Perubahan nama dari Bentang menjadi Sudiang berawal ketika Raja Gowa memberi nama wilayah ini Kodia yang artinya buruk, mungkin karena Raja Gowa menilai kondisi alam daerah ini yang sungguh-sungguh tidak menarik atau pun mungkin ada hal lain yang kurang menyenangkan sehingga Raja Gowa menyebutnya demikian.

Ketika Kare Kobbi, Karaeng Sudiang IX bersama-sama dengan Karaeng Punrangan ri Borisallo berhasil kembali dari Jawa dalam sebuah tugas ekspedisi penyerangan, maka Raja Gowa menganggap penilaiannya selama ini terbalik yang diistilahkan SISULIANG yang artinya pengertian terbalik dari sebelumnya. Dari kata sisuliang itulah akhirnya berubah bunyi menjadi SUDIANG.

Selanjutnya dari Bira dan Sudiang, akhirnya berkembang menjadi 4 kerajaan yaitu Biringkanayya dan MoncongloE, setelah putera  dari  I Addolo Daeng Mangngitung (Karaeng Bira XIV /Gallarang Bira III)  yaitu   I Mangngassengi Daeng Mangngassai Bangkeng Bate ri Paralloe diangkat menjadi Gallarang Biringkanaya Pertama dan adiknya I Hama Daeng Leo, diangkat sebagai Gallarang MoncongloE pertama

Bira, Sudiang, Moncongloe dan Biringkanaya, merupakan daerah Suku Makassar, dengan demikian ikatan sejarahnya sangatlah erat dengan Sejarah Gowa dan Tallo, sebab memang berdasarkan catatan Lontara, Karaeng LoE ri Sero ditetapkan sebagai Raja Tallo Pertama atas permufakatan Karaeng LoE ri Bentang (Raja Sudiang) dan Karaeng LoE ri Bira (Raja Bira).

Sudiang sendiri adalah salah satu Anggota Dewan Panji Sembilan Kerajaan Gowa atau yang dikenal dengan sebutan Bate Salapanga, yaitu sejak tahun 1565 menggantikan kedudukan Gallarang Batua.

Jabatan selaku Anggota Bate Salapanga dipegang selama 4 (empat) dekade raja di Sudiang yang kebetulan semuanya adalah perempuan (ratu). Sebutan raja di Sudiang sejak berdirinya sampai keluar sebagai Anggota Bate Salapanga adalah karaeng tetapi sesudahnya barulah disebut gallarang.

Sedangkan Bira, Biringkanayya dan Moncongloe menjadi bagian dari Dewan Hadat Kerajaan Tallo.

Perkembangan Selanjutnya
Istilah Gallarang Appaka muncul dan populer, pada saat Belanda sudah memperoleh penguasaan total atas Sulawesi Selatan termasuk Maros, atas dasar itu Kerajaan-kerajaan lokal yang ada ditata menjadi daerah-daerah pemerintahan administratif dalam bentuk Distrik Adat Gemenschaap yang dipimpin oleh seorang kepala distrik yang dipilih dari bangsawan setempat berdasarkan peraturan  adat serta mendapatkan pengesahan dari Gubernur Belanda di Makassar.

Empat Distrik serumpun masing-masing Bira, Sudiang, Moncongloe dan Biringkanaya  yang ditetapkan sebagai Distrik Adat Gemenschaap dipimpin oleh seorang Kepala Distrik dengan gelar Gallarang. Dan dimasukkan menjadi bagian dari Onderafdeling Maros. Setelah sebelumnya menjadi daerah bawahan dari Kerajaan Gowa Tallo.

Atas dasar itulah sehingga keempatnya dipopulerkan dengan istilah Gallarang Appaka (Empat Distrik yang dipimpin oleh Gallarang).

Uraian lengkap masing Kerajaan Gallarang Appaka menjadi satu bagian pokok dari Buku Sejarah yang kami tulis meskipun diakhir perjalanannya hanya MoncongloE yang tetap menjadi bagian dari Maros hingga saat ini.

Laporan : Amran Allobaji, SH, MH Kr. Tetta Sau.