Jakarta — Demikian penyataan Farouk Abdullah Alwyni ketika berbincang bersama awak media Selasa, (30/07/2019) di kawasan Gambir Jakarta Pusat.
“Pernyataan Menteri Pertahanan (MenHan) di sejumlah media, saya rasa perlu diklarifikasi karena mengingatkan kita kembali bagaimana dulu Orde Baru (ORBA) menggunakan Pancasila untuk membungkam pihak-pihak yang berbeda pandangan politik dengannya. Sepengetahuan saya FPI telah selesai dengan persoalan Pancasila.” ujarnya.
“FPI memang banyak mengkritisi Pemerintahan Jokowi, dan menjadi pendukung 02 dalam pemilu yang lalu, tetapi bukan berarti anti Pancasila dan saya pikir pernyataan MenHan ini tidak sejalan dengan semangat untuk membangun demokrasi yg sehat.” tutur Farouk.
“Sebaiknya kita jangan cepat mem “branding” pihak-pihak yang mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan pemerintahan yang ada sebagai anti-pancasila. Pancasila sebagai dasar negara jangan sampai disalahgunakan kembali seperti yang kita lihat pada masa Orde Baru (ORBA).” imbuhnya.
Farouk yang juga Kepala Biro Pelayanan Luar Negeri dan Diplomasi Publik DPP PKS ini pernah berjumpa dengan Habib Riziek Shihab (HRS) (Imam Besar FPI) di Makkah sekitar bulan Maret 2019 yg lalu, dan menurutnya: “Saya tidak melihat beliau sebagai sosok yang anti Pancasila. Saya melihat beliau adalah sosok yang juga peduli untuk melihat Indonesia menjadi negara yang lebih baik.” ungkapnya.
“Indonesia yang lebih adil, beradab, sejahtera, maju, dan barokah. Jadi hendaklah semua elemen politik di tanah air tidak dengan mudah untuk menjadikan Pancasila sebagai alat politik semata untuk menyudutkan pihak-pihak yang berbeda.” pintanya.
“Kita semua perlu bekerja lebih keras agar demokrasi kita kedepannya benar-benar bisa menjelma menjadi demokrasi substantif, demokrasi yang bisa membuat negara dengan segala instrumennya dapat bermanfaat untuk seluruh rakyat dan lebih toleran terhadap perbedaan pandangan politik, dan bukan sekedar demokrasi asesoris, yang hanya sekedar Pemilu, tanpa perbaikan secara substantif dari tata kelola pemerintahan dan layanan publik, dan juga tidak toleran terhadap perbedaan pandangan politik.” pungkas Farouk yang juga Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics and Development (CISFED) ini. (fri)