Mencoba Mendalami Pilpres Dan Pileg 2019

Bekasi — Berandankrinews.com — H. Ahmad Buchory Muslim dikenal dengan UBM yang juga Caleg DPR RI Dapil Jabar VI (Kota Bekasi dan Depok) nomor urut 4 dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini berbincang dengan reporter di rumahnya di kawasan Kota Bekasi Selatan, Selasa Sore, (02/04/2019).

Di tahun 2019 ini pilpres dan pileg bareng dan baru kali ini, kebijakan dibuat untuk menghemat anggaran dan hemat waktu. Betul, itu sisi positifnya.

Akan tetapi, ada dampak negatifnya. Pertama, pileg tak kebagian ruang publik. Semua orang, dan juga media, bicara pilpres. Seolah tak ada pileg. Kedua, polarisasi pilpres mempengaruhi pilihan rakyat. Caleg tak banyak dilihat performa-nya. Integritas, kapasitas dan komitmen personalnya cenderung diabaikan. Semua terkontaminasi oleh polarisasi capres.

Pemilih yang condong ke capres nomor urut 02 cenderung tak mau memilih caleg dari partai pendukung 01. Begitu juga sebaliknya. Fenomena ini terjadi dimana-mana.

Partai mana yang nantinya akan dapat kursi terbanyak di DPR, akan sangat tergantung pada “coat-tail effect” atau efek ekor jas dari pilpres. Dalam hal ini, caleg yang partainya punya capres dan cawapres sangat diuntungkan.

Di pilpres kali ini, partai Gerindra dan PDIP paling diuntungkan. Sebab, capresnya dari kedua parpol ini. Juga PKB, karena efek dari Ma’ruf Amin, mantan kader dan anggota DPR RI dari PKB.

Nasib partai lain akan pertama, akan sangat bergantung kepada kegigihan caleg-calegnya menyapa pemilih. Makin sering ketemu pemilih, potensi dapat kursi makin besar. Tentu ada logistik yang tak kalah pentingnya. Tanpa logistik, sehebat dan sepopuler apapun caleg, gak bakal jadi. Ini konsekuensi dari demokrasi padat modal.

Kedua, bergantung juga kepada capres-cawapres mana yang didukung oleh para pemilih di wilayah itu. Jika capres-cawapres yang didukung partainya kuat di wilayah itu, potensi untuk dapat kursi akan cukup besar. Tapi, jika jumlah pendukung capres-cawapres yang diusung partainya itu kecil, caleg harus sadar bahwa dirinya telah masuk di dapil ‘neraka’.

Sejumlah caleg sengaja memasang baliho dengan foto capres-cawapres yang tidak didukung partainya. Di sejumlah daerah, ada sebagian caleg PPP, PBB dan Golkar memasang baliho dengan background foto Prabowo-Sandi.

Sementara di tahun 2019 ini ada 7.968 caleg DPR RI. 4.774 laki-laki, dan 1.394 perempuan. Caleg perempuan sekitar 40 persen. Melampaui batas dari quota. Jika ditotal dengan caleg DPRD I dan II, maka jumlahnya ada sekitar 245.106 orang. Tentu, tak akan jadi semua. Caleg yang tak jadi sudah disiapkan kamar di Rumah Sakit Jiwa. Antisipasi jika ada yang benar-benar gila.

Sebanyak itu jumlah caleg yang akan rakyat pilih, tentu akan sangat membingungkan. Dan faktanya, pemilih pada umumnya abai dan tak peduli pada caleg. Bagus tidak bagus, pemilih umumnya “ngasal” dalam mencoblos caleg. Belum lagi DPD yang jumlahnya ada 807 orang.

Di tangan pemilih nanti ada 5 surat suara. Capres-cawapres, DPD, DPR RI, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II. Kecuali DKI Jakarta, DPRD tingkat II tidak ada.

Anda yang berpendidikan dan berasal dari kelas menengah atas, sudahkah kenal caleg dan calon DPD yang rencana akan anda pilih? Kalau anda saja gak kenal, bagaimana dengan kakek-nenek yang usianya sudah di atas 60 tahun. Atau anak muda generasi milenial yang tak peduli terhadap pemilu. Ini tentu jadi persoalan tersendiri.

Padahal, anggota DPR tak kalah penting eksistensinya dari presiden dan wakil presiden. Tugas presiden dan wakil presiden akan sangat dipengaruhi oleh peran parlemen. Sebab, parlemen punya fungsi membuat undang-undang yang menjadi dasar dan roadmap presiden dan wapres menjalankan tugasnya. Belum lagi peran kontrol dan budgeting. Bagaimana anda mengabaikan pileg?

Jika di tahun 2014 dan sebelumnya, dimana pileg tidak dibarengkan pilpres saja masih gagal menghasilkan para anggota parlemen yang ideal, apalagi sekarang? Ditangkapnya sejumlah anggota parlemen oleh KPK, termasuk ketua DPR RI, adalah salah satu buktinya.

Pesona caleg yang redup dan terabaikan oleh gegap gempitanya pilpres mesti jadi renungan bersama jika ingin melahirkan para anggota parlemen yang baik. Baik artinya dipilih rakyat berbasis kesadarannya. Dan kesadaran itu ada jika pemilih kenal dan tahu siapa caleg yang akan dipilih dan diberikan amanah oleh mereka. Jangan sampai gara-gara pilpres, caleg yang terpilih bukan orang-orang yang sesuai dengan harapan rakyat, karena faktor “ngasal” dalam mencoblos. (fri)

Satu Elemen Umat Islam Muncul Lagi Mendeklarasikan Dukungan Buat Kemenangan Jokowi — Ma’ruf

Jakarta — Berandankrinews.com — Ratusan Habaib dan ulama mendeklarasikan dukungan untuk pasangan Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin di Pilpres 2019. Deklarasi dukungan dilakukan di Lapangan Sepakbola Terbuka Gedong, Condet, Jakarta Timur, Ahad, (31/03/2019) yang dihadiri oleh sekitar lima ribuan peserta yang memenuhi lapangan sepakbola tersebut.

Pembacaan Deklarasi dukungan untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf dilakukan langsung oleh Presiden Majelis Dzikir RI 1 Habib Salim bin Abdul Qodir Baharun. Pembacaan Deklarasi diikuti ratusan habaib dan ulama, relawan pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 01 tersebut dan Beliau menambahkan, para habib dan ulama yang tergabung dalam Relawan Sayap Kanan ini, siap memenangkan Jokowi – Ma’ruf di Pilpres 2019.

Habib Salim selaku Presiden Majelis Dzikir RI-1 mengatakan; selain memuliakan ulama, Jokowi juga merupakan sosok pemimpin yang sangat santun dan dia pun menyayangkan pihak-pihak yang kerap menyerang Jokowi dengan berita bohong alias hoaks.

“Kami mengimbau masyarakat khususnya umat Islam agar tetap dapat menjaga persatuan dan tidak terpecah belah hanya karena perbedaan pilihan politik,” tegas Habib Salim.

“Kami berharap Pesta demokrasi khususnya Pilpres 2019 berjalan dengan tertib dan aman kalaupun ada perbedaan kita tunjukkan bahkan kita sebagai bangsa Indonesia yang berakhlak mulia, benar-benar berbudaya untuk saling menjaga perasaan, untuk saling tidak memfitnah, untuk saling tidak menyebar berita hoax, untuk saling tidak berlebihan dalam menjatuhkan. Maka dengan ini mari kita bergandeng tangan dan pastikan tanggal 17 April nanti kita datang ke TPS untuk coblos nomor urut 01 Jokowi — Ma’ruf Amin dan jangan ada yang golput.” pinta Habib Salim.

Menanggapi adanya seorang tokoh yang akan melakukan People Power bila Paslonnya kalah di Pilpres 2019 nanti, maka Habib Salim mengatakan “Bahwa ancam mengancam itu bukanlah budaya politik kita dan jelas bergaya premanisme dan bila kenyataannya nanti dianggap banyak kecurangan, ayo marilah bagaimana kita menjaga, mengatasi atau menghindari kecurangan itu sendiri, tidak perlu banyak bicara. Kalau kalah ya kalah, tidak perlu mengumbar-umbar ketakutan atau ancaman dan belajarlah ‘Legowo’ untuk menerima kekalahan. Bukan kami takabbur bahwa Paslon 01 inshaAllah dimenangkan oleh Allah Swt. Karena memuliakan ulama. Begitulah dunia, dengan berbagai dalih, berbagai diplomasi, kata-kata lalu mengatakan ini dan itu. Yang jelas rakyat Indonesia sudah cerdas memilih mana yang terbaik baginya. Mari kita sambut pesta demokrasi dengan ceria.” tutupnya.

Selain deklarasi, Relawan Sayap Kanan bersama para habib dan ulama juga beristighosah bersama. Istighosah dipimpin oleh para habib dengan harapan Jokowi-Ma’ruf memenangkan Pilpres 2019 dan di acara tersebut tidak lupa dihibur oleh Orkes Gambus Danya Al Khalifi yang semakin memeriahkan suasana. (fri)

Pemprov Sudah Anggarkan Rp 174 M untuk Percepatan KBM Tanjung Selor

KESEPAKATAN : Gubernur Kaltara Dr H Irianto Lambrie menyerahkan dokumen kesepakatan pelaksana Renaksi Inpres No. 9/2018 kepada Menko Ekonomi Darmin Nasution, Rabu (27/3). Perihal tersebut juga dilaporkan Gubernur kepada Mendagri Tjahjo Kumolo.

JAKARTA – Pada tahun ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Utara (Kaltara) mengalokasikan anggaran senilai Rp 54 miliar untuk pembangunan fasilitas penunjang dan kegiatan lain guna mempercepat realisasi pengembangan Kota Baru Mandiri (KBM) Tanjung Selor. Anggaran sebesar itu, salah satunya akan digunakan untuk memenuhi target pembebasan lahan di kawasan tersebut seluas 173,55 hektare. Penganggaran itu dilakukan sejak 2017 dengan nilai pagu Rp 50 miliar, dan 2018 sebesar Rp 70 miliar. Demikian disampaikan Gubernur Kaltara Dr H Irianto Lambrie usai melakukan penandatanganan kesepakatan pelaksanaan Rencana Aksi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2018, tentang Percepatan Pembangunan Kota Baru Mandiri Tanjung Selor di Graha Sawala Gedung Ali Wardhana Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (27/3).


Dijelaskan Gubernur, pasca terbitnya Inpres No. 9/2018 maka ada 12 kementerian/lembaga plus Gubernur Kaltara dan Bupati Bulungan memiliki tugas dan tanggung jawab sesuai kewenangan masing-masing untuk mendukung percepatan pengembangan KBM Tanjung Selor. “Untuk tahun ini, salah satu tindak lanjut yang akan dilakukan Pemprov Kaltara adalah menyelesaikan pembebasan lahan. Dimana targetnya, akan dibebaskan lagi seluas 173.55 hektare,” kata Gubernur.

Sementara pemerintah pusat atau 12 kementerian/lembaga yang diinstruksikan oleh Presiden, diharapkan berperan membantu penyediaan infrastruktur dasar dan memfasilitasi tersedianya sarana dan prasarana perkotaan. “Pemprov Kaltara juga telah melakukan tindak lanjut Inpres KBM dengan Dirjen Tata Ruang Kementerian PUPR membahas mengenai usulan perubahan delineasi KIPI. KIPI ini terintegrasi dengan KBM Tanjung Selor, termasuk pula pembangunan PLTA Kayan. Delineasi KIPI sendiri, diharapkan akan mempercepat investasi disana,” ungkap Irianto. Selain itu, Pemprov juga mengajukan permohonan percepatan pendampingan revisi RTRW Kabupaten Bulungan dan pembebasan lahan KBM Tanjung Selor.

Hasil dari pertemuan itu disambut positif Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. “Tahun ini, Kementerian PUPR akan fokus pada pematangan program juga menunjuk Kepala BPIW untuk melakukan sinkronisasi dengan masterplan KBM yang dibuat Pemprov Kaltara,” papar Irianto.

Selain Kementerian PUPR, Pemprov Kaltara juga menemui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dilanjutkan, pertemuan dengan pihak Kementerian Perhubungan membahas usulan pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur perhubungan yang berafiliasi dengan pengembangan KBM Tanjung Selor. “Kesimpulannya, percepatan pembangunan KBM Tanjung Selor sangat ditentunkan oleh cepat atau tidaknya penyelesaian revisi RTRW Bulungan. Dalam revisi ini, saya menyarankan agar mengacu dan mempedomani RTRWP Kaltara. Juga memperhatikan perkembangan permasalahan provinsi,” beber Irianto.

Dalam dinamika penyusunan RTRWK Bulungan, harus pula memperhatikan sejumlah aturan. Yakni, apabila terdapat perbedaan peruntukkan pada suatu kawasan antara Perda RTRWK dengan Perda RTRWP maka pemanfaatan ruang mengacu pada Perda RTRW Provinsi selama Perda RTRW Kabupaten/Kota belum disesuaikan. Selain itu, izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Perda RTRWP Kaltara, harus memperhatikan pasal 115 huruf f. “Ketentuannya, untuk izin pemanfaatan ruang yang belum dilaksanakan pembangunan, izin tersebut disesuaikan dengan kawasan dala,RTRW yang ditetapkan dalam Perda RTRWP Kaltara No. 1/2017. Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunan, pemanfaatan ruang dilakukan dengan masa transisi selama 3 tahun dan dilakukan penyesuaian dengan menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRWP dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh Perda,” tutup Gubernur.(humas)

Birokrasi Wajib Terapkan SPBE Terintegrasi Secara Nasional

EVALUASI SPBE : Gubernur Kaltara Dr H Irianto Lambrie saat menghadiri acara penyerahan hasil Evaluasi SPBE Tahun 2018 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (28/3).

JAKARTA – Penerapan sistem penyelenggaraan roda pemerintahan dari pusat hingga ke daerah yang mengandalkan teknologi informasi, diharapkan untuk dapat terintegrasi dengan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang tengah dikembangkan Pemerintah. Demikian disampaikan Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) Dr H Irianto Lambrie mengutip arahan Wakil Presiden (Wapres) RI H M Jusuf Kalla pada acara penyerahan Evaluasi SPBE Tahun 2018 di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis (28/3).

Penegasan Wapres tersebut, kata Irianto terkait dengan implementasi dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018, tentang SPBE. “Sistem IT yang ada harus mengikuti Perpres yang sudah diterbitkan tersebut. Dalam artian, harus dilaksanakan dengan mengintegrasikan antara sistem yang dilakukan di institusi masing-masing dengan sistem nasional,” katanya.

Meski dalam tahap belajar, Pemerintah terus berbenah diri untuk dapat mengikuti perubahan zaman. Utamanya, untuk beradaptasi terhadap kecepatan perubahan dan perkembangan teknologi informasi. “Setelah terintegrasi, hal penting lainnya, adalah bagaimana mengasosiasikan kebijakan yang ada ini, kepada masyarakat dalam bentuk efisiensi pelayanan juga demi kemajuan bangsa,” tutur Irianto.

Tak hanya pemerintah, pihak swasta mulai startup, unicorn dan lainnya, harus mengedukasi masyarakat untuk lebih maju dalam kehidupannya. “Kehidupan masyarakat pasti berubah, namun pemerintah harus tetap memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat,” jelas Gubernur.

Dalam penerapannya, meski terintegrasi, setiap institusi harus menjalankan sistem sesuai kewenangan yang ada. “Pemerintah Indonesia, utamanya Kemenkominfo juga akan meningkatkan kemampuan sarana-prasarana pendukung sistem IT nasional yang terintegrasi hingga ke daerah tersebut. Sementara Bappenas bertugas mengimplementasikan sistem yang sudah ada,” ungkap Gubernur.

Irianto juga menukil pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Sjarifuddin di acara yang sama. Diungkapkan Gubernur, tak hanya diterapkan, SPBE di tiap institusi mulai daerah hingga pusat akan dievaluasi pelaksanaannya oleh Kemenpan-RB. “Evaluasi SPBE ini, akan menjadi potret kematangan pelaksanaan SPBE pada 616 instansi pusat, pemerintah daerah juga Polri,” ucap Gubernur.

Irianto mengaku sepakat dengan pernyataan Menpan-RB yang menyatakan bahwa pentingnya membangun iklim kerja pemerintahan dari pusat hingga daerah agar mampu mengambil peluang positif yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi. “Patut kita sadari bahwa kecepatan perubahan akibat teknologi sangat tinggi, pemerintah jangan sampai kehilangan momentum tersebut. Indonesia, termasuk Pemprov Kaltara harus segera melakukan lompatan yang progresif dan masif dengan membangun sistem pemerintahan berbasis teknologi,” jelas Irianto.

SPBE sendiri memiliki banyak manfaat. Di antaranya, diperolehnya data baseline pelaksanaan SPBE nasional yang akan digunakan untuk penyusunan kebijakan dan penentuan arah strategis pembangunan SPBE yang efektif, efisien, terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan. “Adapun target indeks SPBE nasional, instansi pusat hingga daerah diharapkan mencapai kategori baik atau lebih besar atau sama dengan 2,6,” beber Gubernur.

Disebutkan, sesuai hasil Evaluasi SPBE tahun 2018, dari 616 kementerian, lembaga juga pemerintah daerah sebanyak 82 instansi pemerintah atau 13,31 persen berpredikat baik, sangat baik dan memuaskan. Sementara 534 instansi lainnya, atau 86,69 persen berpredikat cukup dan kurang. Dan, dari 34 provinsi, 41 persennya memiliki indeks SPBE diatasi target nasional. Sementara 59 persen lainnya, dibawah 2,6 persen. “Hasil tahun ini menjadi landasan pacu untuk melangkah bersama membangun SPBE secara nasional. Ini harus dilakukan semua, dari pusat hingga ke daerah. Akselerasinya harus dilakukan pada 3 domain utama, yakni kebijakan, tata kelola dan pelayanannya,” urai Irianto.

Dijelaskan pula, bahwa dalam beberapa tahun kedepan, sesuai target Kementerian PPN/Bappenas, SPBE akan benar-benar hadir dan dikembangkan secara terpadu serta mengubah tampilan tata kelola pemerintahan yang lebih efektif, efisien dan mewujudkan birokrasi dan pelayanan publik berkinerja tinggi dan akuntabel dari pusat hingga daerah. “Target utamanya, adalah efisiensi keuangan yang sangat besar,” tutupnya.(humas)

Sertifikasi Tanah di Jakarta Pusat Buat Rakyat Kecil Masihkah Berjalan Penuh Lobang Dan Mendaki ?

Jakarta, Berandankrinews.com — Tak Jauh dari Istana Negara, Ini Sengkarut Sertifikasi 600 KK Warga RW. 08 Kelurahan Petojo Selatan, Jakarta Pusat.

Saat ini, pemerintah terus menggeber proses sertifikasi tanah. Di berbagai kesempatan, pemerintah membagikan sertifikat secara massal kendati banyak mendapat kritik dari sejumlah pihak karena kental muatan politik terkait Pilpres 2019. Meski demikian, pembagian sertifikat ini terus dilakukan hingga ke berbagai pelosok daerah.

Sejatinya, pemerintah lewat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menargetkan 126 juta hektare bidang tanah agar bersertifikat pada 2024. Untuk mengejar target itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan sertifikasi lewat program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Hal ini sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN; Menteri Dalam Negeri; serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, tentang biaya pendaftaran tanah sistematis tahun 2017.

Dalam SKB tersebut, warga dibebankan biaya Rp 150.000 per bidang tanah untuk tanda batas patok, pemberkasan, dan materai. Namun, warga Jakarta kini tidak perlu lagi membayar biaya itu karena sudah ditanggung Pemprov DKI. Sebab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengalokasikan anggaran Rp 187 miliar untuk proses sertifikasi tanah di wilayah Jakarta. Namun dalam praktiknya masih ada oknum yang mengutip dana dari warga.

Sayangnya, kemudahan PTSL dan insentif gratis dalam pemutihan sertifikat ini tidak bisa dinikmati 600 kepala keluarga (KK) atau mencakup lebih dari 3.000  jiwa warga di RW.08 Kelurahan Petojo Selatan, Jakarta Pusat.

Pasalnya, sekitar 250 bidang tanah milik warga yang sudah dilakukan pengukuran oleh BPN melalui program PTSL dengan luas tanah mencapai +18.000 meter persegi tidak bisa dilanjutkan prosesnya untuk menjadi sertifikat.

Menurut Ibu Teten Masudah kasie Sengketa di BPN Jakarta Pusat, hal ini karena rumah warga berdiri diatas tanah yang telah bersertifikat Hak Milik atas nama JM. PANGGABEAN dengan Sertifikat Hak Milik No. 47. Dengan demikian permohonan sertifikat hak atas tanah untuk warga RW. 08 tidak bisa diterbitkan.

Pihak BPN menolak pengajuan sertifikat dari warga Petojo Selatan. Agus Syahrial, Ketua RW. 08 Kelurahan Petojo Selatan mengatakan, pihak BPN menolak pengajuan sertifikasi karena 250 bidang tanah tersebut berada di lahan yang sudah ada sertifikatnya. “Kami kaget pengajuan ditolak oleh BPN dengan alasan lahannya ada di bidang lahan yang lain. Warga ini sudah tinggal di lahan itu turun temurun. Warga tinggal di lahan itu dengan membeli bidang tanah dari tuan tanah SAJID IDROES BIN HASAN BIN SECH ASSOLABIAH ALAYDROES pada tahun 1927. Pada awalnya tahun 1926 memang warga sewa kepada tuan tanah tersebut,” ungkapnya.

Menurut Agus, sebagian warga masih ada yang memegang bukti kepemilikan jual beli lahan tersebut. Sayangnya, sebagian besar warga tidak memegang bukti-bukti tersebut karena ketidaktahuan dan sistem pendataan pertanahan yang kala itu masih sangat sederhana, terangnya.

“Belakangan ini, warga yang mendirikan bangunan atau yang sedang melakukan renovasi rumahnya sering diintimidasi oleh pihak swasta yang mengklaim mempunyai sertifikat atas lahan warga. Dan Intimidasi dilakukan dengan menggunakan tangan oknum aparat. Mereka mengklaim punya sertifikatnya. Tapi ketika didesak mana sertifikatnya, mereka tidak pernah menunjukkan,” beber Agus.

Akibat intimidasi ini, warga menjadi gusar, tetapi di sisi lain, hal ini membuat warga tidak nyaman. Agus mengatakan, perwakilan warga berinisiatif mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo agar bisa membantu proses sertifikasi dan menyelesaikan kasus ini. Setelah menunggu lama, ada respon, tetapi itu pun tidak menyelesaikan keinginan warga untuk mendapatkan kejelasan hak milik atas tanah tersebut. Beberapa kali warga mendatangi BPN DKI Jakarta tapi terkesan lepas tangan.

Belakangan, warga mendapatkan bukti baru jika lahan yang ada di SHM No. 47 yang bersengketa ini bidang tanahnya ternyata bukan berada di lahan yang ditinggali 600 KK warga RW. 08 Kelurahan Petojo Selatan.

“Saya dapat temuan baru setelah mengecek peta online ATR-BPN pusat yang diunduh dari aplikasi Android. Temuan baru ini sudah disampaikan ke BPN Jakarta Pusat dan Bagian Hukum Kantor Walikota Jakarta Pusat, karena diduga datanya berbeda dengan BPN RI. Tapi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya juga,” keluh Agus sambil menunjukkan print out peta online ATR-BPN.

Keluhan dan kegusaran warga RW. 08 Petojo Selatan ini juga sampai ke telinga Farouk Abdullah Alwyni, Caleg DPR RI dari PKS Dapil DKI Jakarta II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri). “Persoalan sertifikasi tanah ini terungkap ketika kami melakukan sosialisasi ke warga. Saat itu, warga mengeluh terkait pengajuan pembuatan sertifikat tanah lewat PTSL yang ditolak pihak BPN,  tanggapan pemerintah dalam hal ini BPN terlihat kurang responsif untuk menyelesaikan masalah warga Petojo Selatan.

Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dan kontradiktif dengan kesan yang ditampilkan pemerintah selama yang gembar-gembor mengkampanyekan keberhasilan dari program sertifikat gratis hingga ke pelosok negeri.

Ketika ditemui reporter di Jakarta Pusat, Kamis Sore, (28/03/2019), Farouk mengatakan ; “Masalah warga Petojo Selatan ini ada di Jakarta, lokasi warga jaraknya kurang dari 400 meter menuju Istana Negara tapi tidak bisa diselesaikan. Di mana Reformasi Agraria ? Bagaimana nasib ribuan jiwa warga kalau sampai tergusur dari kampung halamannya akibat data pertanahan yang masih kacau ?,” kritiknya.

Farouk yang juga Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) ini menilai, aparat BPN semestinya turun ke lapangan dan mengecek polemik sengketa tanah di Petojo Selatan. Sebagai pelayan masyarakat, tentunya harus memberikan “service” yang baik untuk mencerminkan birokrasi pemerintahan yang melayani dan bersih. “Kalau perlu Presiden RI memanggil BPN dan pihak-pihak terkait untuk membuka data-data pertanahan, sehingga jelas duduk perkaranya. Rakyat harus mendapat hak memiliki tanah untuk tempat tinggal, yang merupakan kebutuhan dasar,” tegas Farouk.

Sebagai Caleg DPR RI Dapil 2 DKI Jakarta dari PKS nomor urut 6 ini, Farouk memang memberikan perhatian khusus terhadap persoalan birokrasi di Indonesia, dan masuk dalam salah satu poin perjuangan beliau, termasuk di dalamnya pelayanan BPN terkait urusan pertanahan. Masih banyaknya oknum BPN yang terlibat pungutan liar (pungli), pelayanan yang sulit dan berbelit-belit menunjukkan bahwa reformasi birokrasi masih jauh api dari panggang.

Itu sebabnya, pihaknya selalu menggaungkan pentingnya untuk menciptakan birokrasi yang bersih, ramping, tidak ribet, dan melayani. Adapun parameternya, dari beberapa benchmarking secara internasional misalnya adalah Ease of Doing Business Index (EODB), Competitiveness Index, dan Corruption Perception Index, di mana rangking Indonesia masih memprihatinkan.

Pengajar Perbanas Institute & Program MM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) ini menilai, isu terkait reformasi birokrasi telah didengungkan selama beberapa waktu di Indonesia, tetapi implementasinya belum benar-benar terealisasi. Posisi Indonesia di dalam rangking Ease of Doing Business dari World Bank (WB) atau Bank Dunia (2018) yang dalam banyak hal merefleksikan efektivitas dan efisiensi dari Birokrasi adalah masih di level 72 yang secara relative masih rendah.

Meskipun sudah ada perbaikan dalam empat tahun terakhir, rangking Indonesia adalah masih di bawah negara-negara tetangganya di Association of South-East Asian Nations (ASEAN) seperti Singapura (2), Malaysia (24), Thailand (26), Brunei (56), dan bahkan Vietnam (68).

Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia (2015) pun dalam salah satu laporannya meletakkan isu birokrasi dan korupsi sebagai bagian hambatan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. ADB (2015) menyatakan bahwa “ada sebuah kebutuhan yang urgent terhadap simplifikasi regulasi karena biaya-biaya tambahan yang rezim regulasi bebankan terhadap bisnis.” ADB di sini juga menyalahkan birokrasi yang bertele-tele di sektor pemerintahan sebagai salah satu faktor kritis yang berkontribusi terhadap korupsi.

“Sifat ataupun praktik-praktik neo-feodal pada birokrasi termasuk di BPN harus dikikis habis sehingga melahirkan birokrat yang profesional, melayani, tidak menyulitkan, dan bersih dari korupsi. Dengan cara itu, diharapkan, Indonesia bisa melangkah menjadi negara maju. Karena salah satu indikator penting dari negara maju adalah birokrasinya mudah, sederhana, efektif dan efisien,  dan tentunya melayani,” pungkas alumnus New York University (Amerika Serikat) & University of Birmingham (Inggris) ini. (fri)