Separatisme dalam Demokrasi Indonesia

Oleh: Wilson Lalengke

Berandankrinews.com-Jakarta, Seorang Profesor Mahfud MD beberapa waktu lalu sempat menjadi bulan-bulanan, dibully sana-sini, karena pernyataan beliau yang sedikit pedas bagi sebagian orang. Statement Prof Mahfud soal “hard liner province” atau provinsi garis keras yang menjadi basis kemenangan pasangan calon nomor 02 di Pilpres lalu telah memicu ketegangan sosial-politik di beberapa daerah yang tersentil. Bahkan, Senator DPD RI asal Aceh, Fachrul Razi, bersuara keras dan memaksa sang Profesor yang merupakan ‘ahlinya ahli’ hukum Indonesia itu meminta maaf kepada publik. Dengan rendah hati, Profesor itupun meminta maaf (https://news.detik.com/berita/d-4531490/ucapan-provinsi-garis-keras-disoal-mahfud-md-minta-maaf).

Tidak berhitung bulan, pernyataan Mahfud MD itu kini mewujud. Gaung genderang referendum, yang bagi pengusungnya hakekatnya adalah pernyataan keinginan merdeka, lepas dari keterikatan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mulai ditabuh. Setidaknya, Aceh dengan ide Darul Nanggroe Aceh dan beberapa provinsi di Sumatera dengan ide Republik Andalas Merdeka, telah menjadi wacana yang tiba-tiba menyeruak di ruang baca kita. Pada tingkat tertentu, tentunya fakta itu dapat menjadi bukti pembenar atas apa yang disinyalir mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD akhir April lalu.

Ketika yang menjadi obyek ucapan Profesor Mahfud adalah keterkaitan hard liners dengan paslon nomor 02, maka semestinya pernyataan itu juga mewakili fenomena hard liners province tertentu lainnya dengan paslon nomor 01. Sebab, siapa yang bisa menduga sifat “garis keras” beberapa daerah pendukung paslon nomor 01 tidak bergolak jika junjungannya kalah atau dikalahkan pada Pilpres 17 April 2019 lalu? Sangat terbuka kemungkinan rakyat Sulawesi Utara meminta referendum (baca: merdeka) jika paslonnya dikalahkan. Demikian juga Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Belum lagi “garis keras” kelompok Nahdatul Ulama dengan Banser dan Anshor-nya, yang dapat saja berubah menjadi pembelot NKRI akibat jagoannya gagal. Who knows?

Pertikaian yang berujung ke pemisahan diri menjadi sebuah negeri yang berdaulat di jaman kerajaan di nusantara dan banyak bagian negara lainnya dahulu kala, umumnya dipicu oleh ketidakpuasan sekelompok rakyat dan pimpinan wilayahnya terhadap rajanya. Raja yang menjalankan pemerintahan absolut, otoriter, diktator, dan bahkan semau-pribadinya sendiri, telah menjadi faktor pendorong utama bagi rakyat untuk memperjuangkan kehidupan yang bebas dari pemerintahan raja tersebut. Sayangnya, muara dari hampir semua perjuangan itu adalah memisahkan diri ke dalam suatu negeri merdeka, berdaulat, yang tidak dalam lingkaran pemerintahan di kerajaan awalnya.

Revolusi Perancis (1789–1799) menjadi tonggak sejarah yang merupakan momok menakutkan bagi raja-raja di masa itu, terutama di daratan Eropa. Pemberontakan rakyat Perancis terhadap Raja Louis XVI telah melahirkan sebuah negara Republik Perancis pada Desember 1792. Pemikiran-pemikiran konservatif yang terkait dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan gereja, dihancurkan dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru, yakni kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite). Untuk meredam gejolak serupa terjadi di negara-negara kerajaan lainnya di Eropa, masing-masing raja menyusun strategi pemerintahan mereka sesuai dengan keinginan rakyatnya. Pada poin inilah, ide tentang demokrasi yang diperkenalkan oleh masyarakat Yunani kuno (Athena tahun 508 SM) mendapat tempat terhormat untuk dikaji dan diimplementasikan dalam kehidupan sosial-politik masyarakat modern.

Kota-kota di Yunani kuno yang disebut Polis, menyelenggarakan pemerintahannya dengan sistim demokrasi langsung. Pelibatan rakyat secara langsung dalam pemerintahan dilaksanakan melalui pemilihan umum yang substansinya sama dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai referendum. Dalam sistim demokrasi langsung ala Polis Yunani kuno, rakyat hanya disuguhkan dua alternatif pilihan: “Ya” dan “Tidak”. Contoh, jika pemerintah kota ingin menerapkan aturan atau kebijakan untuk mengeksekusi mati seorang yang diduga penjahat, pemerintah akan mengundang rakyat untuk memberikan suaranya, dengan sebuah pertanyaan: apakah Anda setuju si A dieksekusi mati akibat dugaan kejahatan yang dilakukannya? Rakyat cukup menjawab “Ya” atau “Tidak”.

Pemikiran demokrasi kuno itu diadopsi oleh hampir seluruh negara kerajaan di Eropa untuk menjadi bagian dari sistim pemerintahannya. Ide demokrasi ini selanjutnya berkembang ke dalam bentuknya seperti yang dikenal saat ini, melalui pemilihan umum (pemilu). Sejak berakhirnya perang dunia kedua (1939-1945), sistem pemerintahan demokrasi dipandang sebagai sebuah sistem pemerintahan terbaik bagi sebuah negara. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa setiap negara baru yang lahir pasca 1945, hampir seluruhnya berbentuk pemerintahan republik.

Di Indonesia, awalnya pemilu dilaksanakan hanya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan diberikan mandat memilih presiden dan wakil presiden, juga calon gubernur dan wakil gubernur, hingga seterusnya calon bupati/walikota dan wakilnya. Para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu itu juga akan bertugas menjalankan fungsi-fungsi legislatif lainnya, yakni membuat undang-undang, mengawasi pelaksanaan undang-undang, dan membuat perencanaan anggaran negara. Dalam delapan kali pemilu (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999), rakyat pemilih hanya masuk ke tempat pemungutan suara untuk memilih wakil-wakilnya (anggota DPR dan DPRD).

Sejak pemilu 2004, berdasarkan UUD 1945 yang sudah diamandemen, pemilu juga dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden. Dalam 4 kali pemilu di orde reformasi, Indonesia telah melahirkan 2 presiden dengan latar belakang dan karakter kepemimpinan yang berbeda. Hal ini tentu saja menarik untuk dijadikan bahan perenungan, kajian, dan tulisan. Namun, mari kita kembali ke laptop, sesuai judul tulisan ini.

Hakekatnya, salah satu fungsi sistim pemerintahan demokrasi, baik untuk pemilihan perwakilan rakyat, pemilihan presiden, maupun penyampaian aspirasi melalui mekanisme demokrasi, adalah untuk meredam perpecahan dalam masyarakat sebuah negara berdaulat. Demokrasi dipandang sebagai sebuah sistim pemerintahan yang menyatupadukan rakyat melalui sebuah mekanisme penyaluran aspirasi yang sama, di saat yang sama, dengan pilihan-pilihan dan aturan yang disepakati bersama (egalite). Disamping persamaan, penyampaian aspirasi dilaksanakan secara langsung oleh masing-masing rakyat pemilih dengan kebebasan penuh, tanpa tekanan dan paksaan. Bahkan untuk tidak datang ke tempat pemungutan suarapun alias golput, semua rakyat bebas tanpa ancaman sanksi apapun (liberte).

Suara-suara sumbang bernuansa separatisme yang muncul usai momentum demokrasi dilaksanakan biasanya disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap hasil pelaksanaan demokrasi (baca: pemilu). Sekelompok rakyat pemilih yang kalah akan mengambil sikap skeptis terhadap hasil demokrasi yang dicapai, yang akhirnya memicu sistim berpikir komunalnya untuk lebih memilih sikap denial (penolakan) daripada memberikan endorsement (persetujuan).

Skeptisisme semacam ini umumnya berkembang di negara-negara yang rakyatnya terdiri atas berbagai bangsa. Kekecewaan atas hasil pemilu yang tidak sesuai harapan mayoritas sebuah komunitas dapat menjadi pemicu naiknya adrenalin separatisme yang tumbuh berkembang berbasis kebangsaan di komunitas tersebut. Menilik dari besarnya jumlah pemilih paslon 02 yang kecewa karena kekalahan paslon pilihannya di Provinsi Aceh dan Sumatera Barat, termasuk daerah-daerah lain di sekitarnya, dapat kita maklumi bahwa genetika ke-Aceh-an bangsa Aceh, genetika ke-Minang-an masyarakat Minangkabau, genetika ke-Melayu-an bangsa Melayu, dan sejenisnya, mencuat ke permukaan menampakkan eksistensinya untuk tidak dipandang sebelah mata. Solusi reaktif yang muncul adalah berpisah dari NKRI melalui bahasa “referendum”. Hal serupa juga sangat mungkin terjadi jika paslon nomor 1 kalah, ego kebangsaan Minahasa, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua, dan bahkan Wong Solo dan Wong NU akan bereaksi dan memunculkan wacana beraroma separatisme.

Fenomena separatisme tersebut sesungguhnya kasat mata terjadi pada kasus perpecahan partai-partai politik di Indonesia selama ini. Para kandidat ketua partai bersama pendukungnya yang kalah dalam pemilihan ketua partai, lebih memilih memisahkan diri dari partainya dan mendirikan partai baru. Gerindra, misalnya, lahir setelah Prabowo gagal dalam Konvesi Capres Golkar 2004 dan Partai Nasdem didirikan setelah Surya Paloh digilas kalah oleh Aburizal Bakri saat pemilihan ketua partai Golkar tahun 1999. Termasuk juga, walau tidak persis sama, dengan Megawati yang mendirikan PDI-Perjuangan setelah kalah dalam Kongres PDI di Medan tahun 1996. Kasus serupa juga banyak terjadi di beberapa lembaga dan organisasi masyarakat, seperti Peradi yang pecah menjadi 3 organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia, PWI-Reformasi yang terpisah dari induknya, PWI, dan lain-lain. Sumuanya dipicu oleh kekalahan dalam proses pemilihan pemimpin organisasinya.

Jika ide demokrasi, yang terlahir kembali melalui Revolusi Perancis, dipandang sebagai sebuah sistem pemerintahan yang lebih baik dari sistem lainnya, mengapa hasil pemilu bisa menjadi trigger bagi munculnya ide pemisahan diri di kalangan kelompok yang kalah dalam pemilu? Jawabnya, karena ternyata pemilu kita hanya keras pada ide persamaan (egalite) dan kebebasan (liberte) dalam berdemokrasi, belum radikal pada ide persaudaraan (fraternite) yang harus melekat menyatu pada demokrasi itu sendiri. Mungkin hal ini yang lebih penting untuk diwacanakan oleh Profesor Mahfud MD dan para pemimpin bangsa kedepannya. (*)

Referendum Tidak Bertentangan Dengan MoU Helsinki

Berandankrinews.com-Jakarta, Senator DPD RI Asal Aceh, H. Fachrul Razi, MIP menyatakan bahwa Referendum juga diberikan ruang oleh perjanjian damai tersebut jika para pihak tidak dapat memenuhi beberapa kesepakatan.

Fachrul Razi menilai bahwa dalam MoU Helsinki ditegaskan bahwa Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.

“Artinya substansi perjanjian MoU Helsinki adalah demokrasi dan adil. Dua pondasi ini jika rakyat Aceh tidak merasakan keadilan dan demokrasi, wajar saja seorang mantan panglima GAM Muzakir Manaf sangat kecewa dengan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi.

Namun menurutnya penekan dari output Mou Helsinki selain Demokrasi dan Keadilan adalah Kemajuan dan Keberhasilan Aceh pasca perjanjian itu ditandatangani. “Coba kita lihat dalam perjanjian MoU Helsinki bahwa dinyatakan Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan, hal tersebut merupakan sebuah kondisi perubahan signifikan yang harus dirasakan di Aceh saat ini,” tegasnya.

Menurutnya pernyataan Muzakir Manaf atau dikenal Mualem menunjukkan begitu kekecewaan seorang Muzakir Manaf terhadap kondisi Aceh saat ini yang merasakan bahwa Aceh jauh dari kemajuan dan keberhasilan.

Disisi lain, kunci perjanjian ini dijelaskan oleh Fachrul Razi adalah “trust building” yaitu membangun kepercayaan. Sebagaimana tertulis dalam MoU Helsinki bahwa “Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.”

“Nah, jika salah satu pihak sudah mengalami kekurangan percayaan (distrust), ini menunjukkan bahwa muncul kekecewaan terhadap proses dan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi.

“Nah kalau ada yang tanya apakah MoU Helsinki memberikan ruang adanya referendum, silahkan baca poin 6.1.c,” tegas Fachrul Razi memberikan solusi.

Fachrul Razi mengatakan Banyak yang tidak bisa mengartikan poin tersebut, jelas dalam poin tersebut tertulis “Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.”

Menurut Fachrul Razi, apabila salah satu pihak merasakan dirugikan, atau mengalami kekecewaan karena adanya perselisihan dalam fase-fase tahun berjalan, para pihak dapat melaporkan dan menuntut solusi secara demokrasi. “Dan perlu saya tegaskan, Referendum merupakan mekanisme demokrasi secara damai sebagai hak konstitusional rakyat Aceh sebagai bagian dari NKRI,” tegasnya.

Dan ini menurut Fachrul Razi, ditegaskan dalam MoU Helsinki poin 2.1. bahwa Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak- hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. “Ingat, referendum ada dalam konvenan internasional, dan juga dalam UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1985 tentang Referendum meskipun sudah dicabut pada tanggal 23 Maret 1999 melalui lahirnya UU No 6 tahun 1999 namun itu hak asasi yang bersifat universal, hati hati!” tegas Fachrul Razi memberikan peringatan.

Intinya menurut Fachrul Razi, MoU Helsinki merupakan solusi demokrasi bagi Aceh secara damai, dengan komitmen bahwa kedua belah pihak yaitu Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman tersebut. “Jika salah satu tidak konsisten, mekanisme demokrasi lain dapat ditempuh,” tutupnya. (RFZ/Red)

Senator Aceh: Rakyat Aceh Tuntut Referendum, Pemerintah Pusat diminta Bersikap

Berandankrinews.com-Jakarta, Senator DPD RI Asal Aceh, H. Fachrul Razi, MIP yang juga Pimpinan Komite I DPD RI meminta Pemerintah Pusat untuk bersikap dan memberikan perhatian serius jika saat ini rakyat Aceh meminta dilakukan Referendum secara resmi.
 
Wacana ini dinyatakan oleh Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Ketua DPA Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, yang  mengeluarkan pendapat Agar ke depan Aceh minta referendum karena menurut Mualem, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja. Pendapat dan keinginan itu disampaikan Mualem dalam sambutannya pada peringatan Kesembilan Tahun (‪3 Juni 2010-3 Juni 2019‬), wafatnya Wali Neugara Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hasan Ditiro dan buka bersama di salah satu Gedung Amel Banda Aceh, Senin (27/5/2019) malam.
 
Fachrul Razi menjelaskan bahwa penyataan Mualem bukanlah pernyataan biasa, dan ini serius dan memiliki arti penting. “Ini yang berbicara Mualem, jadi ini bukan wacana lagi tapi satu sikap politik yang tegas untuk menjawab quo vadis Aceh kedepan menghadapi Indonesia yang terus menuju pada kehancuran dan kegagalan dalam berdemokrasi,’ tegas Fachrul Razi.

Dirinya mengatakan bahwa Referendum adalah mekanisme demokrasi dalam memberikan hak politik rakyat dalam menentukan masa depannya. Menurutnya Referendum adalah solusi damai untuk Aceh dan hak konstitusional setiap warga negara. Referendum dapat diartikan penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum. Biasanya menurut Fachrul Razi, Referendum digunakan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung tentang hal-hal fundamental yang menyangkut nasib dan masa depan rakyat sendiri.

“Mengapa saya berbicara Referendum? Karena saya wakil Aceh di Pusat. Jika Rakyat Aceh menginginkan referendum, sebagai wakil Aceh sangat wajar saya memperjuangkan itu,’ tegas Fachrul Razi lagi. (FRZ/Red)

Apel Operasi Ketupat 2019, Polres Madina Siap Amankan Lebaran 2019

Berandannkrinews.com-Mandailing Natal (Sumut), Polres Mandailing Natal Selasa (27/05/2019) melaksanakan Upacara apel gelar pasukan Operasi Kepolisian Terpusat Ketupat Toba 2019 dalam rangka Pengamanan Hari Raya Idul Fitri 1440 H , Selasa (27/05/2019).

Kapolres Mandailing Natal AKBP Irsan Sinuhaji , S.IK ,MH yang di wakilkan kepada Wakapolres Mandailing Natal Kompol TB. Pane, M. M untuk memipin apel tersebut dalam pidatonya mewakili Kapolres Mandailing Natal ,dalam membacarakan amanat dari Bapak Kapolri menjelaskan bahwa “Operasi ini dilaksanakan untuk mengecek kesiapan Personil , peralatan, serta seluruh aspek operasi, termasuk seinergitas dan soliditas komponen penyelenggara dan menunjukkan kesiapan penyelenggara operasi kepada publik, sehingga akan menumbuhkan, ketenangan, rasa aman dan nyaman bagi masyarakat .

Wakapolres kembali menjelaskan ” dalam pelaksanaan operasi sebanyak 2.448 Pos PAM dan 764 Pos Pelayanan dan 174 Pos Terpadu dan 12 lokasi cek point sepeda motor, dengan melibatkan 160. 335 Personil gabungan yang terdiri dari 93. 589 Personil Polri, 13. 131 Personil TNI, 18. 906 Personil Dinas terkait di seluruh Indonesia.

Sedangkan diwilayah hukum Polres Madina kita Dua Pos Pam di Jalisnum, satu di Kecamatan Natal dan satu Pos Yan serta satu Pos pantau, pengamanan dibangun oleh pihak Polres Madina untuk mengamankan perayaan Idul Fitri 1440 H. “Pos kita bangun lima, menyiapkan empat Pos Mudik ( Dua Cek Point, Satu Pos Pantau dan Satu Pos Pelayanan) yang akan di tempatkan di wiilayah Jalinsum dan satu lagi di pos pelayanan terpadu daerah Wisata Natal.

Turut juga hadir dalam kegiatan apel tersebut yakni Sekda Madina, Para PJU Polres Madina , Dandim 0212/TS yang diwakili, Danramil 13 Panyabungan , Kapolsek Jajajaran, Danki Senapan B Mangga Dua, Kadishub Kabupaten Mandailing Natal, Ketua Organda, Kepala Jasa Raharja Cabang Madina, Kasatpol PP, Saka Bhayangkara dan Dinas Kesehatan. (Leodepari)

Berbagi Berkah, PPWI Berikan Santunan kepada Anak Yatim

Berandankrinews.com-Jakarta, Tidak kurang dari 30 anak yatim menerima santunan dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Sabtu, 25 Mei 2019. Acara pemberian santunan yang dibarengi dengan kegiatan berbuka puasa bersama itu diadakan di Rumah Yatim & Dhuafa Yayasan Mizan Amanah Pejompongan, Jl. Pejompongan Dalam No. 9, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Hadir pada acara tersebut, para pengurus puncak PPWI, yakni Ketua Umum Wilson Lalengke, Sekretaris Jenderal Fachrul Razi, dan Bendahara Umum Hendrik L. Karosekali.

Sementara itu, dari pihak pengurus Rumah Yatim & Dhuafa Mizan Amanah, hadir antara lain Kang Yayat dan Mbak Nida serta beberapa staf Yayasan lainnya. Selain itu, turut juga hadir meramaikan acara para tokoh lintas agama dan warga pewarta yang tergabung dalam organisasi PPWI, seperti Mr. Manohar Vasvany dari komunitas masyarakat Hindu, Ibu Liliany Lontoh dari komunitas masyarakat Konghucu, dan Evelyn Angeline dari masyarakat Kristiani.

Hendrik Karosekali yang didaulat membawakan acara silahturahmi dan berbuka bersama di Rumah Yatim & Dhuafa ini, dalam kata pembukaannya menyampaikan bahwa tujuan utama kedatangan team pengurus dan anggota PPWI adalah untuk menjalin silahturahmi dengan pihak pengelola dan anak-anak yatim di tempat tersebut. “Sekaligus juga kami ingin berbagi berkah kepada anak-anak yatim, dhuafa, dan mereka yang memerlukan bantuan, mumpung sedang dalam bulan penuh berkah, bulan Ramadhan tahun ini,” ujar Hendrik yang merupakan salah satu pengusaha sukses di Jakarta itu.

Di tempat yang sama, Wilson Lalengke menjelaskan secara singkat tentang PPWI dan kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan, terutama terhadap masayarakat luas. Dirinya juga mengulas bahwa silahturahmi menjadi fondasi paling mendasar bagi setiap orang dalam menjalani kehidupan yang nyaman, damai dan harmonis di masyarakat selama hidupnya. “Untuk dapat membangun masyarakat yang baik, harmonis dan nyaman, kita harus menjalin silahturahmi antara satu dengan lainnya, antara komunitas yang satu dengan komunitas lainnya. Untuk bisa membangun silahturahmi, kita perlu berkomunikasi antar satu dengan lainnya, berbagi informasi, berbagi ide, berbagi saran, berbagi perasaan, dan sebagainya, sehingga tercipta saling pengertian, saling memahami, dalam rangka mewujudkan kehidupan yang rukun dan bersatu. PPWI adalah wadah membangun silahturahmi melalui pola berbagi informasi menggunakan sistem jurnalisme warga yang baik, benar dan bermanfaat,” jelas Wilson yang juga menjabat sebagai Sekjen Kappija-21 itu.

Sekira 15 menit sebelum beduq tanda berbuka puasa dikumandangkan, para peserta acara yang didominasi anak-anak yatim dan dhuafa, membacakan rangkaian doa dan zikir bersama. Ustadz Yayat memimpin pembacaan doa bersama dengan penuh hikmat diikuti oleh semua hadirin.

Berhubung masih ada waktu tersisa setelah acara pembacaan doa-doa dan zikir sebelum beduq berbunyi, kesempatan tersebut dimanfaatkan untuk pemberian santunan kepada 30-an orang anak yatim dan selanjutnya berfoto bersama.

Setelah tanda berbuka, seluruh peserta acara membatalkan puasanya dengan makanan ringan untuk berbuka puasa (takjil) yang disediakan PPWI. Acara kemudian dilanjutkan dengan sholat magribh berjamaah dan makan malam bersama. (Wilson lalengke)