Nunukan – Keberadaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) non dokumen (PMI Ilegal) di Sabah, Malaysia hingga saat ini masih menjadi persoalan yang pelik. Hilangnya jaminan kesejahteraan jaminan keamanan selalu menyelimuti para PMI illegal tersebut.
Selain itu, masalah-masalah lain yang harus ditanggung PMI Ilegal diantaranya tidak terpenuhi prinsip dan standar minimal peradilan dan mendapatkan hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan di PTS
Sebagaimana diketahui, hampir 90 persen pekerja perkebunan dibeberapa wilayah Sabah seperti Tawau, Keningau, Lahad Datau, Sandakan hingga Kota Kinabalu berasal dari Indonesia, terutama dari Sulawesi Selatan (Sulsel) dan sebagain dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hasil perkebunan sawit sendiri merupakan penyumbang utama (40%) bagi pendapatan negeri Sabah atau sekitar 30% dari hasil sawit nasional Malaysia, dengan luas perkebunan sawit sekitar 1.5 juta hektar.
6 Sektor ini memerlukan tenaga kerja yang tangguh, dan sekitar 90% perkebunan-perkebunan sawit di Sabah menggunakan TKI karena mereka diakui sebagai pekerja yang rajin dan ulet. Sabah memiliki perkebunan sawit yang luas, sehingga Sabah menjadi salah satu pusat perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Para pekerja di perkebunan sawit tersebut mayoritas berasal dari Indonesia
Terkait hal tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kerukunan Keluarga Bulukumba (KKB) Kabupaten Nunukan, Syafrie Habbe mengingatkan Pemerintah agar menseriusi penanganan para pekerja asal Indonesia tersebut.
Syafrie juga ingin meluruskan anggapan bahwa PMI di Sabah identik sebagai Pendatang Tanpa Izin. Ia mengungkapkan, PMI yang dideportasi itu ada yang memiliki dokumen lengkap. Biasanya, mereka ditangkap aparat ketika di kebun sehingga tidak bisa menunjukkan dokumen izin kerja dan tinggal.
Dokumen itu biasa disimpan di rumah atau dipegang majikan. Namun, karena saat penangkapan tidak bisa menunjukkan, mereka tetap menjalani proses hukum. Pemeriksaan dan penangkapan oleh pihak berwenang di Malaysia pun menurut Syafrie tidak kompeten dan penuh stigma buruk terhadap PMI.
“Tidak ada satu pun deportan yang pernah didampingi penasihat hukum. Di hadapan pengadilan atau mahkamah yang berlangsung 5-10 menit, hanya satu pilihan mengaku bersalah atas pengakuan sendiri. Fakta inikah yang selama ini yang jarang diketahui publik dan Pemerintah RI,” jelasnya.
Para PMI itu, menurutnya, sudah diajarkan oleh aparat Malaysia sebelum memasuki ruang persidangan. Kalimat yang harus diucapkan,” Yang mulia, kami mengaku bersalah dan minta hukuman dikurangi”.
“Tidak ada satupun dari deportan yang pernah menerima dokumen peradilan atas nama diri mereka sendiri. Bayangkan mereka diadili, tetapi tidak pernah menerima satu dokumen pun. Dokumen penangkapan saja tidak ada,” jelasnya.
Persoalan yang tak kalah mirisnya, ungkap Syafrie, minimnya sarana pendidikan membuat anak para PMI serta tuntutan perekonomian memaksa anak-anak PMI untuk bekerja membantu orang tua demi memenuhi kebutuhan keluarga.
“Ketika anak-anak PMI di Sabah tidak mengenyam pendidikan, maka mereka tidak dapat memperbaiki kondisi keluarga dan dapat memberi kerugian bagi negara,” paparnya
Salah satu kerugian bagi pemerintah Indonesia adalah terjadinya peningkatan jumlah warga negara yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah.
Dengan banyaknya warga negara yang tidak berpendidikan, maka pertumbuhan ekonomi negara akan cenderung terhambat disebabkan
perusahaan-perusahaan hanya ingin mempekerjakan tenaga-tenaga ahli yang mumpuni. Pada akhirnya, jumlah pengangguran akan meningkat.
Walaupun ketika anak-anak PMI di Malaysia sulit mendapatkan pendidikan, sebetulnya juga akan menjadi persoalan juga bagi Malaysia, namun Syafrie menegaskan, kerugian terbesar tetap ditanggung oleh Indonesia.
Syafrie mengungkapkan, fenomena PMI ilegal sejatinya sudah marak terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Hal ini tidak terlepas dari adanya oknum-oknum penyalur di daerah yang berusaha mengeruk keuntungan dengan mengelabui calon pekerja migran.
“Syarat yang sangat mudah jadi jerat pemikat,” tandasnya.
Sementara itu,
perjanjian atau Memorandum of Understanding (MoU) mengenai Rekrutmen dan Penempatan Pekerja Domestik antara Indonesia dan Malaysia menurut Syafri juga telah kadaluarsa sejak tahun 2016 lalu.
Hal ini semakin membuat rumit nasib para PMI terutama yang ilegal di negara jiran itu. Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan RI pun diminta untuk segera melakukan pembaruan MoU.
“Kita mengalami kekosongan hukum. Tidak ada hukum yang mengatur tentang penempatan, juga tidak ada hukum yang menjamin tentang perlindungan,” ujarnya.
Situasi seperti inilah yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan pribadi dari para PMI tersebut. Dan itu dipermulus oleh kekurang tahuan para PMI itu sendiri. Maka jangan heran menurut Syafrie kalau banyak PMI yang memotong kompas melalui jalur – jalur tikus.
“Kita harus punya diginity untuk bicara tegas dengan Malaysia. Karena di satu sisi sekali pun kita menyiapkan satgas, komitmen untuk memberantas sindikat, tapi kalau negara tujuan untuk penempatan main-main pada kebijakan dalam negerinya, dan tetap menerima pekerja yang berangkat secara ilegal, itu sama saja,” tegas Syafrie.
Syafrie juga mengingatkan, denan menangani keberadaan Para PMI di Sabah secara serius, itu sma saja dengan menyelamatkan para penyumbang keuangan negara. Pasalnya, PMI menjadi salah satu penyumbang devisa negara terbesar.
“Pada tahun 2019 saja, para PMI berhasil menyumbang devisa mencapai Rp 159,6 trilun. Tentu jumlah itu belum seberapa dengan devisa yang akan masuk ke negara apabila status PMI adalah legal dan diakui oleh pemerintah dari negara tempat PMI Itu bekerja,” pungkas Syafrie.
Pewarta : Eddy Santry