Catatan Pinggir: Bahtiar Parenrengi
Kentut, hal yang tabu dilakukan ditengah keramaian. Bakal mengundang olok-olokan, bahan candaan bahkan umpatan.
Saat berada dikeramaian, mustahil kita bisa melakukan kentut yang bunyinya didengar orang lain. Suatu hal yang mustahil,apalagi kalau baunya tak sedap.
Kalau toh pun terjadi, maka kentut dikeramaian itu mungkin saja tidak disengaja. Sudah kebelet, atau dalam bahasa bugis, nakelo ettu.
Kalau ini terjadi, biasanya kita menjadi malu. Karena pasti orang yang mendengarnya bakal kaget dan tertawa.
Dalam berbagai literasi, Kentut adalah bentuk reaksi alamiah dari tubuh manusia berupa pelepasan gas dari dalam perut.
Gas yang dikeluarkan ini berasal dari sejumlah sumber, seperti gas dari darah yang masuk ke dalam usus, dan gas hasil reaksi kimia antara makanan dan bakteri yang terdapat di dalam usus.
Kentut atau ettu dalam bahasa bugis, bisa merupakan efek samping dari penyakit maag dan sembelit, atau edema angionetik usus.
Kini, kentut menjadi bahasan banyak orang di warung kopi maupun di media sosial. Entah ini dijadikan bahan candaan, supaya bisa tersenyum lebar ditengah ketakutan saat mewabahnya Virus Covid 19.
Kentut sudah menjadi hal biasa, dibanding dengan batuk dan influensa. Canda-candaan teman memang cukup menggelitik. Karena diera sekarang, batuk menjadi sangat menakutkan.
Banyak orang, termasuk sahabat kita biasanya langsung mengambil jarak, malah bisa curiga akan batuk kita. Curiga, dan muncul rasa khawatir, serta menduga gejalah penderita penyakit mematikan di jagat ini, corona.
Cerita-cerita yang sudah melebar sana-sini, bak penyebaran virus. Cerita telah menjelma seperti kata sahabat saya “Cerita campuru ettu alias Cerutu”.
Cerutu, mungkin berkomotasi, cerita yang telah dibumbui agar menjadi enak didengar. Atau mungkin saja dimaksudkan sindiran bagi si “paccarita”, bahwa ceritanya sudah tidak masuk akal. Entahlah.
Apapun istilahnya, kiasan ini telah menjadi sebuah istilah lucu-lucuan yang memiliki pemaknaan cerita yang terlalu dibumbui. Sehingga cerita tersebut terkadang memiliki bau yang tidak sedap.
Kiasan Cerutu juga menjadi simbol sindiran kepada seseorang yang hanya pintar bicara. Pintar protes dan banyak kritik tapi tak pandai memberi solusi.
Tak heran, dalam acara kumpul bareng dengan sahabat terkadang kiasan itu menyeruak.Telah menjadi fenomena sosial, baik didunia nyata maupun didunia maya dan dunia para pemain Medsos
Kentutlah sepuasmu. Karena bisa saja, kentutmu akan membawamu sedikit lega.
Kentutlah, tapi jangan meneriaki seseorang dengan sindiran, ettu muala. Karena teriakan ini pernah menjadi masalah yang cukup berat.
Kentutlah, sebab Kentut (flatulensi) bisa saja membuatmu tersenyum. Karena kentut yang berawal dari gerakan peristaltik usus (gerakan usus mencerna makanan menuju anus) itu menjadi gerakan peristaltik “memaksa” isi usus, termasuk gas, agar bergerak ke area dengan tekanan lebih rendah, yakni anus. Gas-gas ini lantas membentuk gelembung udara yang keluar melalui anus.
Plong jadinya. Sebab banyakan orang terlihat lega ketika kentutnya sudah keluar. Sehingga dengan kentut kita bisa mendapat manfaat yang tidak sedikit. Diantaranya,
Mengatasi perut kembung dan menghilangkan nyeri perut.
Ingat, jangan menahan kentutmu karena bisa saja akan membuatmu malu. Jangan menahan kentutmu karena bisa keluar tanpa kau sengaja.
Tetaplah menjaga etika agar orang lain tak menjadi berang. Biarkanlah kentut itu naik strata, tapi tetap menjaga diri untuk menghargai kehadiran orang lain. Sebab tak selamanya kentut itu indah.
Kentut memang cukup mengganggu, terutama karena bau khas yang dihasilkannya. Bau kentut berasal dari metana dan sulfur, serta dipengaruhi oleh konsumsi makanan tertentu.
Oleh sebab itu, mari sama-sama menghargai satu sama lain. Kita belajar untuk menghargai setiap perbedaan yang ada.
Kita belajar untuk saling menerima perbedaan dan masukan di antara sesama. Jangan hanya mau menang sendiri. Jangan bersifat egois dalam segala hal.
Sebab, belum tentu apa yang kita yakini benar, itu benar. Bisa jadi sebaliknya. Justru orang lain lah yang benar dan kitalah yang salah.
Mari saling menghargai. Ini jauh lebih baik dan lebih berguna daripada kita saling bermusuhan satu sama lain. Ingat perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan berbeda pendapat adalah hikmah.
Watampone, Rabu,15-04-2020