NUNUKAN – Abrasi pantai di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan saat ini masih terjadi. Terbaru, abrasi menggerus lahan warga di 4 kecamatan di Pulau Sebatik. Mencakup Kecamatan Sebatik Timur, Sebatik Induk, Sebatik Barat dan Sebatik Utara.
Warga pun mempertanyakan upaya pemerintah daerah dalam menanggulangi ancaman bencana tersebut. Apalagi menjelang akhir tahun, kondisi ombak laut di wilayah ini biasanya mengalami pasang dalam skala tinggi.
“Kami setiap hari mencoba memancangkan kayu untuk menahan laju ombak yang terus menggerus tanah. Kami mencari karung-karung plastik untuk diisi pasir, agar hantaman ombak tak terlalu kencang,” ucap salah seorang korban abrasi pantai Sebatik, Lisda beberapa waktu lalu.
Wanita berusia 22 tahun ini, merupakan salah seorang dari sekian banyak warga Desa Tanjung Aru Sebatik, Kecamatan Sebatik Timur yang rumahnya terdampak langsung abrasi. “Kami sampai kesulitan mencari karung plastik di pasar untuk diisi pasir sebagai penahan ombak. Mau bagaimana lagi? Meski selalu hilang itu pagar kayu dan karung pasir, karena tertarik ombak besar. Tapi setidaknya kami masih ada sedikit usaha meredam hantaman ombak di rumah kami,” keluhnya.
Kondisi ini menjadi hal yang disesalkan para korban abrasi. Warga merasa belum ada perhatian pemerintah daerah. Padahal musibah ini sudah berlangsung sekitar 7 tahun, terjadi sejak 2014 silam.
Kepala Desa Tanjung Aru Budiman menegaskan, kondisi berlarut ini memang selalu dipertanyakan warga Sebatik. Pihak desa dituntut memberikan solusi atas segala kerusakan yang telah terjadi. Namun, meski berkali-kali menyampaikan keluhan ke pemerintah daerah, sampai saat ini tidak ada jawaban yang memuaskan masyarakat.
Sekitar 6 unit rumah warga Tanjung Aru roboh. Bahkan kini wilayah pantai Tanjung Aru seakan menjadi yang terparah, akibat proyek pemecah ombak/breakwater tidak tuntas dikerjakan. Ia menjelaskan, Pemerintah Pusat menganggarkan sekitar Rp 26 miliar, untuk pembangunan pemecah ombak sepanjang 750 meter di Sebatik.
Sayangnya proyek tersebut tidak sesuai keinginan masyarakat dan akhirnya tidak tuntas. “Karena tidak tuntas, daerah yang belum ada breakwater menjadi sasaran amukan ombak. Terjangan ombak lebih besar dan kuat, ini yang semakin membuat kita pusing,” keluhnya.
Budiman mengakui, Pemkab Nunukan melalui BPBD memberikan bantuan sembako dan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang rumahnya ambruk akibat abrasi. Namun itu tidak cukup, sehingga masyarakat harus menguatkan hati dan kembali membangun perlahan rumahnya yang hancur di lokasi yang sama.
“Mau bagaimana lagi? Mereka tidak punya tanah untuk membangun rumah, kecuali di bekas bangunannya yang hancur. Kalau ditanya solusi, kami serba salah,” ungkapnya.
Sementara itu, BPBD Nunukan mencatat setiap tahunnya garis pantai Pulau Sebatik bergeser seluas 5-6 meter.
Hasil pemetaan pada Februari 2020 lalu, ada sekitar 969 hektare sepanjang pantai pada 4 kecamatan di Pulau Sebatik yang tergerus abrasi. Masing-masing Kecamatan Sebatik Timur dengan luasan 120 ha, Sebatik Induk seluas 357 ha, Sebatik Barat 416 ha, dan Sebatik Utara 76 ha.
BPBD mengalkulasi kerugian mencapai Rp 71 miliar. Sementara nilai kerugian akibat abrasi diperkirakan mencapai Rp 15 miliar, sehingga bila ditotal kerugian sekitar Rp 86.483.800. Hasil perhitungan ini, belum termasuk kerusakan dan kerugian yang timbul pada tahun 2020 dan 2021. (*)